Bayangkan sebuah kapal yang berlayar di lautan bergelombang. Saat badai menerjang, nakhoda harus mengambil keputusan sulit: mengurangi kecepatan atau bahkan berhenti sejenak.
Inilah analogi yang tepat untuk menggambarkan sikap bank ketika ekonomi sedang terpuruk. Mengapa bank cenderung "menutup keran" kredit saat krisis ekonomi melanda? Mari kita telusuri bersama!
Seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, kebijakan moneter dan makroprudensial menjadi kunci dalam memahami perilaku bank di tengah badai ekonomi. Keduanya bekerja bahu-membahu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, layaknya kapten dan awaknya yang berusaha menyelamatkan kapal dari terjangan ombak.
Kebijakan moneter, yang dikendalikan oleh bank sentral, bertindak sebagai conductor dalam orkestra ekonomi. Saat ekonomi mulai sumbang, bank sentral akan "mengubah nada" dengan menaikkan suku bunga. Akibatnya?
1. Suku Bunga Melambung: Biaya pinjaman menjadi lebih mahal, membuat bank lebih selektif dalam memberikan kredit.
2. Likuiditas Menipis: Pasar keuangan menjadi lebih ketat, membuat bank harus lebih bijak mengelola dana.
3. Risiko Gagal Bayar Meningkat: Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, kemampuan nasabah untuk membayar pinjaman menjadi tanda tanya besar.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial berperan sebagai penjaga gawang, melindungi sistem keuangan dari gol-gol berbahaya. Bagaimana caranya?
1. Peraturan Diperketat: Regulator memperketat aturan main, memaksa bank untuk lebih berhati-hati.
2. Antisipasi Risiko: Bank menjadi lebih waspada terhadap potensi kredit macet.
3. Menjaga Kecukupan Modal: Bank diwajibkan memiliki "tabungan" yang cukup untuk menghadapi masa-masa sulit.