Statistik PBB 2020 mencatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, dimana 6,3 juta balita stunting adalah balita Indonesia. (dikbud.go.id, 10/7/2023).
Tingginya angka stunting ini menjadi perhatian pemerintah saat ini. Salah satunya adalah program Zero Stunting 2030. Program ini merupakan salah satu cara untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045. Menyatu dengan tujuan program Zero Stunting adalah pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) melalui UMKM.
Menteri PPPA mendukung keberadaan organisasi PPUMI mengambil peran dalam penurunan stunting. Seperti pernyataannya, bahwa menurunkan stunting tidak hanya tugas negara, melainkan juga swasta dan masyarakat. Hal tersebut disampaikan dalam Rakernas
II Pemberdayaan Perempuan UMKM Indonesia (PPUMI) dan Launching Gerakan Zero Stunting Indonesia 2030 di Bogor, Rabu (1/11/2023).
Senada itu, Menkeu Sri Mulyani menyatakan, UMKM merupakan penopang 60,5% ekonomi Indonesia. Terdapat 40,9 juta dari 65,5 juta UMKM dimotori oleh perempuan. Menurutnya, dengan membuat perempuan berdaya ekonomi akan meningkatkan taraf kehidupan keluarganya dan nantinya akan menghilangkan stunting. (Kemen PPPA, 2/9/2023).
Solusi Tidak Tepat
Tujuan utama PEP adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Bahkan program ini menjadi tumpuan negara kala krisis ekonomi melanda. Pemerintah sangat getol menjalankan program UMKM, bahkan memberikan kredit usaha untuk membuka bisnis baru.
Seorang perempuan yang terlibat dalam UMKM logikanya akan memiliki penghasilan. Namun, sejumpah pertanyaan mengemuka. Seberapa efektif hal itu untuk menyokong pertumbuhan ekonomi negara? Dengan jumlah 40,9 juta UMKM berapa persen perempuan yang terlibat usaha ini dari seluruh perempuan Indonesia? Belum lagi kenyataan, tidak semua UMKM berhasil. Yang macet bahkan bangkrut juga banyak. Tentu bila hal ini terjadi malah akan menyusahkan keluarga. Bagaimana bisa dikatakan bahwa UMKM
merupakan penopang ekonomi negara?
Ketika perempuan yang terlibat dalam UMKM hanya mengejar materi, dipastikan bakal memunculkan masalah baru. Mengapa, karena hak anak bisa terabaikan. Kurang terawat, nerat badan di bawah standar, susah sehat bahkan bisa mengalami stunting. Belum lagi masalah perhatian, pendidikan, dan penjagaan pada anak. Kesibukan bisnis bagi seorang perempuan dapat menyempitkan peran utamanya yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suaminya.
Kesibukan ibu untuk berdaya ekonomi membuat anak-anak kurang mendapat perhatian. Anak di usia dini yang seharusnya tumbuh kembang fisik dan mentalnya diperhatikan, malah digantikan pengasuhannya oleh HP. Bisa juga dibiarkan bermain dengan temannya, namun tidak terkontrol siapa yang menjadi teman mainnya. Tanpa disadari, semua itu justru akan menjerumuskan anak pada permasalahan lain, yaitu problem kenakalan.
Perempuan yang memiliki bisnis UMKM bukanlah seluruh warga. Sebagian mereka justru dari kalangan mampu. Kalaupun mendapatkan keuntungan, tentu dinikmati oleh pemilik usaha. Sedangkan pekerjanya yang sebagian besar kaum perempuan menerima upah yang minim. Belum tentu upah itu bisa menutupi kebutuhan keluarga, termasuk anak mereka. Jadi, menjadikan UMKM sebagai salah satu motor penyelesaian stunting,
bukanlah langkah yang tepat.