Lihat ke Halaman Asli

Ilma Susi

Pegiat Literasi

Menakar Efektifitas Pencegahan Aksi Kekerasan Seksual Dengan Permendikbudristek PPKSP

Diperbarui: 28 Agustus 2023   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image: m.antaranews.com

Akhir-akhir ini aksi diskriminasi, perundungan hingga kekerasan seksual sering terjadi di lingkungan sekolah. Guna mengatasi dan mencegah kasus ini diskriminasi, dan isu toleransi yang terjadi di lingkungan sekolah, Nadiem Makarim turun tangan. Mas Menteri telah mengeluarkan Permendikbudristek 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Beleid ini merupakan Program ke-25 Merdeka Belajar dan merupakan penyempurnaan dari Permendikbud 82/2015. (Kompas, 8-8-2023).

Permendikbudristek yang baru ini
sekaligus ditujukan untuk membantu menangani dan melindungi siswa, pendidik, maupun staf pendidikan dari kekerasan. Kekerasan yang dimaksud dalam bentuk daring dan psikologis selama kegiatan pendidikan, di dalam maupun luar lembaga pendidikan. (Situs Itjen Kemdikbud, 9-8-2023).

Dalam implementasi di lapangan, satuan pendidikan diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Demikian pula Pemprov dan pemkab/pemkot, juga harus memiliki satgas. TPPK dan satgas ini bakal dibentuk dalam rentang waktu 6---12 bulan setelah peraturan diundangkan.

Diterbitkanya Permendikbudristek 46/2023 merupakan respon dari temuan berdasarkan survey tentang meningginya angka kekerasan di lingkungan sekolah. Hasil survei Asesmen Nasional 2022 menunjukkan, 34,51% siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31% (1 dari 3) berpotensi perundungan.

Sebelumnya, survey yang diselenggarakan Kementerian PPPA 2021, mencatat 20% anak laki-laki dan 25,4% anak perempuan berusia 13---17 tahun mengakui pernah mengalami minimal satu bentuk kekerasan dalam setahun terakhir.  KPAI 2022 juga mendukung data ini, yaitu kategori tertinggi  berkaitan dengan kejahatan seksual,  kekerasan fisik dan psikologis, serta kasus pornografi dan kejahatan siber yang semuanya berjumlah 21.333 kasus.

Jangan Gagal Fokus

Beleid Permendikbudristek yang baru ini, perlu  kita telaah lebih jauh, benarkah kebijakan tersebut  efektif dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan di lingkungan sekolah? Hal itu mengingat bahwa sebelumya telah banyak diterbitkan regulasi serupa. Namun secara realitas angka tindak kekerasan di lingkungan sekolah tak juga berkurang, bahkan  makin bertambah.

Berikut  beleid atau kebijakan yng lahir sebelumnya, yaitu Permendikbud 82/2015 tentang PPKS di Lingkungan Satuan Pendidikan, Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, serta UU TPKS 12/2022 yang banyak menuai kontroversi. Yang paling gress adalah Permenag 73/2023 tentang PPKS pada Satuan Pendidikan di bawah Kemenag.

Sayangnya regulasi yang lahir dari produk hukum ini tak kelar mencegah aksi kekerasan di lingkungan pendidikan, apalagi menyolusi. Kebijakan ini berasa  mandul karena solusi yang diprogramkan menyelesaikan  tidak menyentuh akar masalah. Terbukti masalah kekerasan kembali terulang.

Karenanya musti ada upaya yang  serius guna mencari akar masalah guna mengurainya secara  tepat. Kebijakan mengubah-ubah regulasi tanpa menelaah lebih dalam akar persoalan tersebut hanya akan mengulang kegagalan.

Sekuler Liberal

Maraknya tindak kekerasan di lingkungan sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Menelusuri  akar masalah penyebabnya  akan menemukan pangkal persoalan yaitu penerapan sistem kehidupan yang sekuler. Dari pangkal sekularisme ini lantas meluncur secara liar ide kebebasan atau liberalisme. Dari akar masalah ini bisa diuraikan beberapa sektor yang terlibat

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline