Pada Kamis (1/6/2023), Menparekraf (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) Sandiaga Salahuddin Uno mengumumkan bahwa Indonesia berhasil meraih predikat Top Muslim Friendly Destination of The Year 2023 dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 di Singapura.(Kabarsdgd.com, 03/05/2023)
Artinya, dengan posisi ini Indonesia menjadi "surga wisata halal dunia", Sandiaga Uno dalam keterangan resminya, Sabtu (3-6-2023), mengatakan kenaikan ini merupakan suatu capaian luar biasa karena Indonesia berada di peringkat keempat pada 2021 dan kedua pada 2022. (Katadata, 03/05/2023).
Halal Atau Sekadar Label?
Indonesia memang menempati posisi yang strategis di kawasan Asia Tenggara maupun kawasan Indo-Pasifik. Terlebih usai pandemi lewat, kawasan Indo-Pasifik merupakan kawasan dengan pemulihan ekonomi tercepat di dunia. Kawasan ini juga menyimpan potensi besar bagi perputaran ekonomi dunia. Hal ini sekaligus menunjukkan besarnya potensi wisata halal di kawasan tersebut, termasuk Indonesia.
Penggunaan istilah halal senafas dengan hal yang baik dalam persepsi masyarakat muslim. Namun, benarkah realitas wisata halal demikian? Terlebih Indonesia dengan sistem kapitalisme yang menaunginya. Di bawah sistem ini, wisata halal tetap saja masih jauh dari hakikatnya sebagai sarana tadabur alam guna mendekatkan diri kepada Sang Pencipta alam. Dengan kata lain, jauh dari nilai-nilai takarub yaitu mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Terlebih bila melihat realitasnya, sektor pariwisata secara umum selama ini justru menjadi sarana pelegalan liberalisasi, yakni gaya hidup bebas. Kebebasan ini sendiri merupakan perkara yang inhern dalam ideologi kapitalisme serta merupakan salah satu pilar bagi sistem demokrasi.
Identik dengan penggunaan label "syariah" pada bank syariah, sukuk syariah atau asuransi syariah, penggunaan label "halal" yang diusung di sektor pariwisata tak bisa dilepaskan dari paradigma Kapitalisme. Bagaimanapun, semuanya adalah instrumen dalam ekonomi kapitalisme. Jadi, label "halal" tersebut pun tidak lebih dari sekadar penarik pasar warga muslim, mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Dukungan Modal Besar
Tak sejalan dengan hakikat tadabur alam, sejauh ini, potensi pariwisata memang lebih dimanfaatkan sebagai sumber pemasukan utama APBN di samping pajak. Tidak heran, setiap agenda internasional, target pemerintah tidak pernah lepas dari jumlah wisatawan asing. Hal itu karena mereka merupakan sumber devisa negara. Berbagai kebijakan membuka lalu lintas warga dari luar negeri bahkan dibuat selama pandemi, kendati semestinya negara kita menerapkan pembatasan maupun lockdown.
Mengutip siaran pers Kemenko Perekonomian (27-9-2021), pemerintah mengalokasikan dana yang besar khususnya untuk memulihkan pariwisata nasional. Melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pada 2021, pemerintah mengalokasikan dana hingga Rp7,67 triliun untuk mendukung pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional.
Dana PEN ini disalurkan melalui aneka program. Bangga Berwisata di Indonesia, Bangga Buatan Indonesia, dan Indonesia Care/I Do Care di sektor perhotelan dan pariwisata didanai dari sektor ini. Dukungan PEN juga diberikan untuk kegiatan perfilman, bantuan pemerintah untuk usaha pariwisata (BPUP), dan dukungan akomodasi hotel untuk para tenaga kesehatan. Demikian pula bantuan insentif pemerintah (BIP) di mana pada 2021 anggarannya meroket menjadi Rp60 miliar. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat bila dibanding pada 2020.