Lihat ke Halaman Asli

Pengusaha Mikro, Kecil, Menegah, dan Problematika

Diperbarui: 3 September 2021   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat bersekala kecil dan bersifat tradisional serta informal dalam artian belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum. Menurut keputusan Mentri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 januari 2003, usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan, Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) per tahun. Singkatnya usaha mikro adalah usaha produktif milik perseorangan dan atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro yang di atur dalam undang-undang. 

Sedangkan usaha kecil ialah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil yang diatur dalam undang-undang.lain halnya dengan usaha menengah, usaha menenga sendiri ialah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Itulah sedikit perbedaan mengenai usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah.

 Dalam perekonomian Indonesia usaha mikro, kecil dan menengah atau UMKM adalah kelompok usaha yang memiliki jumlah paling besar. Selain itu , kelompok ini terbukti tahan terhadap berbagai macam goncangan krisis ekonomi, artinya UMKM memiliki peran penting. Maka penting adanya dan sudah menjadi keharusan untuk melakukan penguatan kelompok usaha mikro, kecil dan menengah yang melibatkan kelompok, salah satu kelompok UMKM yang ada di Sidoarjo yaitu UMKM Griya Ingkubator yang menaungi pengusaha-pengusaha mikro. 

Walaupun UMKM terbukti tahan terhadap goncangan ekonomi hal itu tak luput dari problematika yang ada, seperti salah satu pernyataan dari hasil wawancara oleh salah satu pengusaha mikro dari UMKM Griya Ingkubator yaitu bapak zainal Arifin sebagai salah satu pengusaha kuliner, beliau membeberkan beberapa problematika seorang pengusaha mikro di masa pandemi ini seperti dampak pandemi yang merugikan, sulitnya lokasi dan persaingan yang ketat, bahan baku makanan yang semakin mahal dan pasang surut peminat atau pembeli.

Dampak dari pandemi memang memberikan sebuah guncangan yang besar salah satunya pada pengusaha mikro, saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998, UMKM menjadi penyangga ekonomi nasional, menyerap tenaga kerja dan menggerakan perekonomian. Sementara pada tahun 2008 di masa krisis keuangan global, UMKM tetap kuat menopang perekonomian. 

Namun, sektor ini tak mampu menahan krisis yang disebabkan oleh pandemi covid-19, sangat berbeda dengan adanya pandemi dan krisis keuangan, apabila dalam krisis keuangan masih ada banyak peluang-peluang ataupun pendanaan biaya dari kelompok UMKM. 

Sedangkan di masa krisis pandemi ini UMKM menjadi sektor yang paling lemah dan rentan, ditambah dengan adanya peraturan-peraturan baru yang tidak menentu dari pemerintah, salah satunya ialah PPKM yang sempat melarang gerai-gerai untuk menerima konsumen makan di tempat serta peraturan lainya, hal itu juga menjadi salah satu faktor problematika dari pengusaha kecil.

Tak lepas dari dampak pandemi, yang sampai menyebabkan beberapa pengusaha kecil khususnya pengusaha kuliner terpaksa untuk menutup gerai mereka, dikarenakan sewa tempat yang mahal tidak sebanding dengan konsumen yang ada dan mengharuskan para pengusaha kuliner untuk mencari tempat baru yang strategis. 

Banyak problematika para pengusaha kuliner untuk mencari lokasi yang startegis, problematika tersebut seperti lokasi yang kecil namun harga sewa mahal, lokasi yang menjorok ke dalam sehingga sulit untuk di lihat dan lokasi yang ramai dengan pengusaha kuliner lain yang memiliki jenis kuliner yang sama. Hal tersebut juga menambah persaingan antar pengusaha.

Problematika mengenai dampak pandemi yang datang secara tiba-tiba, serta kendala lokasi atau tempat yang belum berakhir, problem lain yang harus dihadapi pengusaha kuliner adalah semakin mahalnya bahan baku makanan. Direktur Jendral Indutri Kecil Menengah dan Aneka ( IKMA ) Kemenperin, Gati Wibawaningsih menyebutkan bahwa industri kecil dan menengah ( IKM ) yang bergerak di sektor makanan saat ini tengah membutuhkan dukungan pasokan bahan baku untuk dapat terus beroprasi, sebab, dampak pandemi membawa pengaruh yang sangat besar pagi para pelaku usaha termasuk di Indonesia. 

Menurut Gati IKM makanan juga mengalami penurunan omzer hingga 50 persen, bahkan banyak IKM yang penjualanya menurun hingga 90 persen. Pada akhirnya mereka menjual secara obral stok yang ada agar tidak menumpuk di Gudang dan supaya menjadi pemasukan. Hal tersebut benar adanya dan sangat dirasakan, seperti hasil wawamcara oleh Bapak Zainal Arifin selaku pengusaha mikro dibidang kuliner yang menjual ayam goreng krispy mengalami dampak naiknya bahan baku seperti ayam dan bahan baku untuk pembuatan sambal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline