Lihat ke Halaman Asli

Ilma zahrotunnaili

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya

Ekofeminisme

Diperbarui: 17 September 2019   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Feminisme sebenarnya merupakan sebuah bentuk kesadaran mengenai ketidakadilan yang sistematis oleh seluruh perempuan di dunia. Feminisme juga  dipahami sebagai terbangunnya hubungan sosial yang adil, setara, serta fairness. Konstruksi sosial yang ada di masyarakat selama ini selalu memposisikan perempuan sebagai "orang kedua". Menurut nancy f. Cott dalam murniati: 2004, mengatakan bahwa sangat sulit untuk mendefinisikan mengenai feminisme, karena sangat sulit mencari kata-kata yang dapat menggambarkan bagaimana perubahan status perempuan yang selama ini telah terkonstruk di masyarakat.

Tahun 1975, rosemary radfold ruether menulis bahwa perempuan harus menyadari tidak akan ada pembebasan bagi mereka, dan tidak akan ada pula solusi terhadap krisis ekologi dalam masyarakat yang memiliki hubungan dasar dominasi. Sehingga, mereka harus menyatukan tuntutan gerakan perempuan dan gerakan ekologi untuk mencapai pembebasan perempuan dan juga memperbaiki krisis ekologi. Kaum feminis dan para perempuan ahli ekologi kemudian mulai melihat hubungan paralel antara kekerasan dan eksploitasi perempuan oleh sistem patriarki dengan eksploitasi terhadap bumi oleh sistem kapitalisme. Kesadaran ini muncul karena dalam sistem patriarki, perempuan dan bumi adalah objek dan properti yang layak untuk dieksploitasi. Melihat hal inim kemudian lahirlah gerakan sekaligus teori yang disebut dengan ekofeminisme.

Pandangan mengenai ekofeminisme hampir sama dengan pandangan feminisme multikultural dan global. Ekofeminisme berusaha menunjukkan bentuk-bentuk opresi pada manusia. Selain itu, ekofeminisme juga memfokuskan kepada usaha manusia untuk mendominasi dunia, bukan hanya manusia lain atau alam. Dalam pandangan ini, karena perempuan selalu dikaitkan dengan alam, maka terdapat hubungan antara konseptual, simbolik, dan linguistik feminis terhadap isu ekologi. (441)persoalan mengenai perempuan dalam konteks ekofeminisme adalah hal yang kompleks, "multi-faceted, multi-located" karena berhubungan dengan perspektif gender yang seringkali ditunggangi oleh hal-hal yang sifatnya politis, ideologis, dan bahkan kultural. Seperti yang dikemukakan oleh hoobged-oster "eofeminist position reflect varied political stances that ,ay be, and usually are, transformed throught time and place. In other words, the political activisms and alliances stemming from ecofeminism modify in relationship to the perceived justice issues being confronted in differing cultural and historical settings". Kompleksitas masalah lingkungan dan perempuan dalam kajian ekofeminisme adalah suatu objek kajian yang potensial dan terbuka untuk dibicarakan dalam berbagai sisi.

Segi ruang dan waktu juga mempengaruhi sehingga menyebabkan kajian ekofeminisme tidak pernah bersifat statis, ia selalu memiliki ruang untuk perubahan. Ditambah juga dengan masalah kultural yang memiliki cara pandang terhadap peremouan dengan sistem patriarki. Sehingga, bukanlah suatu hal yang aneh jika pendekatan dan masalah yang diperjuangkan oleh perempuan yang menjadi aktivis ekofeminisme di berbagai budaya akan bervariasi dan kotekstual sesuai dengan situasi dan kondisi politis, ideologis, serta kulturnya masing-masing.

Ciri-ciri yang terlihat jelas dari pandangan ekofeminisme menurut Karen J. Warren dalam Feminist Thought adalah: (1) pola pikir berdasarkan nilai hirarkis, maksudnya pola pikir ini memberikan nilai, status, dan prestise yang lebih tinggi kepada yang memiliki kelas lebih tinggi daripada kelas bawah; (2) adanya dualisme nilai, contohnya pasangan yang berbeda tidak dianggap sebagai saling melengkapi, tetapi dipandang sebagai oposisi dan eksklusif, serta menempatkan diri lebih tinggi dibandingkan yang lain; (3) memiliki logika dominasi, dimana struktur argumentasi yang menuju kepada pe,benaran adanya subordinasi. Karen j. Warren yang merupakan salah satu tokoh feminis awal, melihat bahwa logika berpikir patriarki yang hirarkis, dualistik, dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Sebuah masyarakat dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, dan tingkah laku yang memakai kerangka kerja patriarki, dimana di situ terdapat pembenaran hubungan dominasi dan subordinasi berupa penindasan perempuan oleh laki-laki. Hal ini terlihat dari perempuan yang selalu dinaturasi, maksudnya adaah saat perempuan disebut sebagai binatang, dan alam yang difeminisasi, artinya adalah saat dimana alam yang dihormati bahkan dipuja sebagai "ibu" mulai ditambang, dikuasai, dipolitisasi, dan ditaklukkan oleh laki-laki.

Kaum feminis juga bisa dikatakan memiliki slogan yang berbunyi, "alam adalah isu feminis", yang menerangkan bahwa pohon, air, produksi makanan, hewan, tumbuhan, racun, dan dominasi terhadap alam non-manusia adalah isu feminis. Kerusakan alam adalah isu perempuan karena perempuan dan anak-anak adalah kaum yang terkena dampak terbesar. Hal ini dikarenakan faktor-faktor yang saling berkaiatan, salah satu yang paling besar adalah kemiskinan. Kesehatan perempuan dan anak, utamanya di komunitas kaum kulit berwarna yang miskin, sangat dipengaruhi dan dirugikan oleh praktik lingkungan yang berbahaya. Contohnya, di beberapa wilayah pedesaan yang masyarakatnya mengandalkan hidup dari alam, jika terjadi kelangkaan air akan berdampak kepada perempuan yang akan semakin sulit untuk mendapatkan air bersih dan menjaga ketahanan pangan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Dalam pandangan ekofeminisme ini juga mencoba membangun atau membangkitkan rasa untuk memberikan hak yang sama kepada laki-laki ataupun perempuan. Maksudnya, jika laki-laki dapat menaklukkan dan menguasai alam, maka peempuan pun juga dapat melakukan hal yang sama. Dalam memaknai keterkaitan antara perempuan dan alam juga diperlukan kehati-hatian. Menurut aviria, makna "perempuan dan alam" dapat dilihat sebagai kesadaran mengenai adanya hubungan kekuasaan yang tidak adil dan terdapat model relasi dominasi di dalam wacana lingkungan hidup yang sama dengan wacana perempuan. Selain itu, juga tidaj menginterpretasikan karakteristik perempuan dengan alam yang daoat melemahkan perempuan, seperti "perempuan memiliki kesamaan secara karakteristik dengan alam, oleh karena itu perempuan memiliki sifat perawat, penjaga, dan pelestari alam". Sifat tersebut dapat didefiniskan bukan berdasarkan kesadaran, tetapi berdasarkan kodrat perempuan. Pemikiran untuk mengembalikan perempuan sesuai kodratnya inilah yang menyanjung perempuan, namun sekaligus juga menindas kaum perempuan. Para ekofeminis melihat ada relasi yang menindas dalam wacana lingkungan sehingga menyebabkan ketidakadilan dalam relasi di masyarakat.

Seperti feminisme yang telah berkembang menjadi beberapa tipe aliran pemikiran, ekofeminisme pun berkembang ke dalam beberapa pemikiran. Setidaknya, menurut rosemarie putnam tong, ada 3 tipe ekofemnisme, yaitu ekofeminisme alam, ekofeminisme sosialis, dan ekofeminisme spiritualis. Setiap aliran ekofeminisme ini memiliki ciri khas masing-masing dalam memahami hubungan antara manusia, utamanya kaum perempuan, dan alam. Di sini, ekofeminisme alam dikembangkan oleh mary daly melalui bukunya yang berjudul gyn atau ecology dan susan griffit dalam bukunya yang berjudul woman and nature. Ekofeminisme alam memandang bahwa alam atau perempuan setara atau mungkin lebih baik daripada kebudayaan atau laki-laki. Selain itu, nilai-nilai tradisional perempuan mampu mendorong hubungan sosial yang lebih baik dan cara hidup yang tidak terlalu agresif dan berkelanjutan.

Selanjutnya ada ekofeminisme sosialis yang berusaha untuk menghilangkan penekanan terhadap hubungan antara perempuan dengan alam. Ada beberapa tokoh dalam pemikiran sosialis, yaitu dorothy dinnersaein, karen j. Warren, maria mies, vandana shiva. Terakir ada pemikiran ekofeminisme spiritualis yang dikembangkan oleh starhawk dan charles spretnak yang lebih mendasarkan pada pandangan antroposentris yang mencoba membenarkan bahaya yang disebabkan manusia terhadap alam, sebagaimana pandangan yang sepakat atas bahaya yang disebabkan laki-laki terhadap perempuan. Ekofeminisme spiritualis berpendapat bahwa ada hubungan erat antara degradasi lingkungan dengan keyakinan yahudi-kristen bahwa tuhan meberikan kekuasaan kepada manusia untuk mengelola bumi.

Tokoh-tokoh dan pemikir ekofeminis pun bersepkat bahwa fokus dari adanya wacana lingkungan dan perempuan tidak terletak pada kedekatan antara perempuan dengan lingkungan, tetapi melihat adanya budaya perempuan atau alam sebagai model yang lebih baik daripada budaya laki-laki atau alam. Maksudnya disini adalah tradisi dan nilai-nilai perempuan dianggap memiliki nilai-nilai lebih sehingga model lingkungan hidup yang mengadaptasi nilai-nilai feminis akan lebih baik untuk sistem lingkungan hidup secara keseluruhan.

Menurut strong (1995), kunci untuk memperbaiki keadaan bumi terletak pada penghormatan kepada hukum alam yang dipahami oleh masyarakat tradisional asli. Masyarakat yang masih memegang nilai tradisional yang asli masih memegang teguh mengenai adanya kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh tuhan.  Sejatinya, tidak ada satu orang pun di muka bumi ini yang menginginkan adanya kerusakan di bumi, namun seringkali mereka secara tidak sadar melakukan perbuatan yang dapat merusak bumi ini, seperti membuang sampah sembarangan di sungai, tidak menghemat penggunaaan plastik, tidak mematikan lampu ketika sudah siang, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kesadaran di masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan, karena lingkungan tidak hanya ditempati oleh generasi atau masyarakat pada saat ini, tapi juga generasi penerus di masa mendatang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline