Lihat ke Halaman Asli

Adu (Bukan) Ayam

Diperbarui: 5 Juli 2023   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore menjelang. Kehangatan sinar matahari terasa menyapa pori-pori dengan lembut. Sejauh mata memandang, orang-orang yang berlalu-lalang tampak sibuk dengan aktifitas sore mereka. Aku menghela nafas panjang. Mengalihkan pandangan kembali pada seseorang disampingku yang sejak pagi meminta waktuku menemani resah hatinya.

"Mau pulang?" tawarku memecah kebisuan. Keheningan yang mengungkung bermula sejak dengan terbata, Adri, teman baikku itu menceritakan keadaan hidupnya yang jauh dari kata sejahtera. Kisahnya tak sesedih cerita Malin Kundang yang dikutuk ibunya jadi batu, namun juga tak seringan kisah Kancil mencuri timun yang sering kudengar dulu saat masih balita. Dalam hidup Adri, dia mengaku menjadi satu-satunya tumpuan hidup keluarganya sejak sang ayah tertangkap basah bermain belakang dengan teman wanitanya.

"Aku tidak marah, Yan. Entah kenapa aku sama sekali tidak kepikiran buat punya perasaan marah, sedih, ataupun tidak terima." lirihnya sembari menatap anak-anak bermain bola di kejauhan sana. "Aku hanya menyayangkan. Kenapa papaku tidak jujur sejak awal, meminta izin pada mama, memikirkan kami sebagai anaknya dan menyelesaikan tanggungjawabnya atas kami sebelum melakukan itu semua?" lanjutnya. Suaranya terdengar parau. Tampak sekali dia menahan tangis yang mungkin tak bisa ditumpahkannya kalau dirumah.

Dia bisa mengatakan pada semua orang bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi dia jelas tak akan bisa membohongiku yang telah membersamainya tumbuh sejak jaman TK sampai sekarang. Aku paling tahu bagaimana Adri. Luar-dalam. 

Lahir-batin. Karena dimataku, dia tampak sebagai buku. Terbuka, bebas dibaca, ada dimana-mana dan hanya mau didekat orang-orang yang dipercayainya. Alias orang-orang yang dia tahu akan menempatkan dirinya dengan hormat dihati mereka. Dan aku salah satunya.

Namun, untuk kali ini aku sangat terkejut, ketika ternyata buku yang aku baca tidak lengkap lembarnya. Aku melewatkan beberapa halaman yang kusesali kini, justru bagian paling penting dari kehadiran buku yang sangat berharga tersebut.

"Ah, kenapa aku banyak bicara sekali? Iyan, kamu boleh cerita padaku masalahmu seperti biasa. Aku tak akan meminta solusi atau nasehat apa pun darimu untuk yang satu ini. Jadi, ceritalah." Senyum Adri diberikan padaku yang saat itu juga sedang menatapnya dalam. Aku menarik sudut-sudut bibirku untuk membalas senyumnya. Dengan perlahan, aku menggelengkan kepala tanda tak ingin bercerita apa pun padanya.

Bagaimana mungkin aku akan mengatakan bahwa, teman wanita papanya yang menjadi perusak keluarga temanku ini, sebenarnya adalah mamaku?.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline