Lihat ke Halaman Asli

Menghilangkan Hutan untuk Kelapa Sawit atau Menghilangkan Kelapa Sawit demi Hutan ?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1432630891128678921

[caption id="attachment_385688" align="aligncenter" width="800" caption=""][/caption]

Indonesia merupakan produsen sekaligus konsumen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Kelapa sawit merupakan tanaman sangat produktif dalam menghasilkan minyak nabati. Sekitar 35% minyak global berasal dari kontribusi tanaman kelapa sawit. Anda akan menemukan lebih dari 50% produk di supermarket yang mengandung minyak dari kelapa sawit seperti minyak goreng, margarin, sabun, sereal dan kosmetik.

Akan tetapi, tahukah Anda? Di balik produk kelapa sawit yang sering kita konsumsi ternyata terdapat segudang permasalahan di baliknya. Permasalahan tersebut muncul ketika habitat hutan tropis mulai tergeser oleh perluasan wilayah perkebunan kelapa sawit yang tidak mempertimbangkan tindakan konservasi. Hal ini kerap dikaitkan dengan deforestasi dan pembakaran hutan gambut yang sering terjadi di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Pembakaran ini memicu pelepasan gas rumah kaca yang berdampak pada laju percepatan perubahan iklim. Data WWF pada tahun 2014 menyebutkan bahwa gajah borneo berkurang sebanyak 80%, harimau sumatera berkurang 60%, 50% orangutan telah menghilang dan 20% hutan lindung beralih menjadi lahan kelapa sawit.

Apakah kelapa sawit harus dihapuskan? TIDAK!! Sebab 45% dari jumlah lahan kelapa sawit di Indonesia atau sekitar 50 ha/orang dikelola oleh petani kecil yang telah terselamatkan dari kemiskinan. Selain itu permasalahan bukan terletak pada kelapa sawit, namun pada cara budidaya kelapa sawit itu sendiri. Lalu bagaimana cara untuk menyelamatkan lingkungan namun tidak menghilangkan mata pencaharian masyarakat kecil? Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan bagian dari solusi itu.

RSPO adalah sebuah badan gabungan dari produsen, pengolah, pedagang, retail, investor, non government organization (NGO), dan konsumen untuk mewujudkan standar global pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan atau yang lebih dikenal Certified Sustainable Palm Oil (CSPO). RSPO mengembangkan sebuah konsep kriteria lingkungan dan sosial yang mewajiibkan setiap perusahaan untuk mematuhi segala aturan sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikat Sustainable Palm Oil. Ketika mereka mampu mematuhi konsep RSPO dengan benar maka hal ini dapat membantu meminimalkan dampak negatif dari budidaya kelapa sawit pada lingkungan dan masyarakat . Beberapa aspek penting RSPO yang harus ditekankan pada perusahaan yaitu:

1. Keadilan dalam bekerja

2. Tidak merampas lahan masayarakat lokal

3. Tidak membuka hutan primer/lindung untuk lahan perkebunan

4. Satwa yang berada di perkebunan harus dilestarikan.

RSPO bersama WWF cukup serius untuk mewujudkan sertifikasi sustainable palm oil bersama beberapa pihak di atas. Produsen yang telah menjadi anggota RSPO terikat komitmen untuk memenuhi standar sosial dan lingkungan. Dengan kata lain tidak ada kesempatan bagi perusahaan perusak dan pembakar hutan untuk mendapatkan sertifikat sustaninable palm oil. Menurut data tahun 2015 yang dihimpun dari RSPO, 51% perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah bersertifikasi sustainable palm oil dan sebanyak 48% suplai minyak kelapa sawit CSPO global berasal dari perkebunan kelapa sawit Indonesia. Namun, kenyataan pahit yang jelas terlihat adalah tidak lebih dari setengah total suplai CSPO tersebut dibeli oleh konsumen global.

Indonesia adalah salah satu negara yang banyak terdapat aktivis lingkungan. Jika dikalkulasikan, aksi yang paling banyak dilakukan adalah kampanye lingkungan tentang hilangnya hutan tropis di Indonesia akibat ekspansi perusahaan kelapa sawit nakal. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah aktivis yang merekomendasikan RSPO sebagai solusi. Bahkan kebanyakan kampanye hanyalah sebuah penyampaian informasi yang tidak menawarkan SOLUSI yang tepat kepada konsumen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline