ini saya ambil dari presentasi rekan saya saat memberikan pengarahan kepada tim tata usaha sebuah sekolah dalam rangka Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah tersebut. Dalam presentasinya disampaikan oleh rekan saya tentang bagaimana rekan-rekan tata usaha tersebut yang didaulat sebagai tim marketing sekolah juga memberikan pelayanan terbaik kepada orang tua peserta didik.
Tanpa menampikkan proses pemasaran produk lain, menawarkan jasa pendidikan bukanlah perkara mudah. Banyak sekali kepentingan yang tarik menarik. Contoh satu hal yang menarik adalah tentang target konsumen.Yang menggunakan produk pendidikan adalah anak, namun yang sangat berpengaruh dalam keputusan pembelian produk adalah orang tua. Orang tua sebagai pemegang saham utama dalam proses pendidikan putra-putrinya punya banyak sekali permintaan dan batasan. Bahkan tidak jarang keinginan anak untuk bersekolah di tempat tertentu pun bisa dikalahkan oleh kepentingan sang pemegang saham utama ini. Belum lagi perihal akreditasi, kualitas sarana prasarana dan kualitas guru-guru, kesempatan bagi peserta didik melanjutkan ke jenjang berikutnya, kebijakan sekolah, sejarah sekolah dan masih banyak factor lainnya yang perlu diperhatikan.
Pihak sekolah tidak dapat begitu saja berharap murid akan datang sendiri dan memenuhi ruang-ruang kelas mereka. Sekolah dengan fasilitas sekelas sekolah rekan saya tadi saja harus berjuang keras mendapatkan peserta didik. FYI, sekolah rekan saya memiliki fasilitas 3 jalur lift yang bisa dipakai untuk murid dan karyawan, lapangan indoor di lantai 8 dan lapangan basket outdoor 2 jalur , kebun dengan berbagai ternak sebagai sarana pembelajaran berbasis proyek dan lapangan mini soccer. Dengan harga yang cukup affordable untuk sekolah sekelas itu saja, butuh perjuangan keras untuk mendapatkan peserta didik. Hal ini sekaligus membuktikan ternyata fasilitas juga tidak dapat menjadi faktor penentu bahwa murid akan datang mengalir.
Lalu harus seperti apa?
Sebelum bicara lebih lanjut, baiklah kita memulai dari mengenal konsumen dalam bisnis ini. Bagaimana kita bisa mendefinisikan konsumen kita? Seperti yang sudah saya sampaikan, bahwa penentu pembelian produk sekolah adalah orang tua meskipun yang akan menggunakan produk itu adalah putra atau putri mereka. Saya menyadari bahwa ada dua konsumen yang berbeda yang harus diperhatikan pada saat proses pemasaran yakni orangtua dan putra/putri mereka. Namun, yang unik adalah kita perlu melihatnya dalam dimensi waktu tertentu. Apa yang saya maksud dengan dimensi waktu tertentu? Mari kita lihat tabel berikut.
Tabel di atas adalah tabel ilustrasi saya tentang keterlibatan orangtua dan anak-anak mereka. Tabel ini merupakan pengamatan pribadi penulis selama terlibat dalam dunia pendidikan menengah atas. Tentunya, perlu diperdalam lagi secara ilmiah. Keterlibatan yang dimaksud adalah keterlibatan tentang bagaimana konsumen ini mempunyai ekspektasi dan pengalaman berinteraksi dengan produk yang dalam hal ini sekolah. Keterlibatan orangtua sebagai penentu keputusan pembelian sangat besar di waktu awal ( pra pembelian -- pembelian awal ) . Sedangkan keterlibatan anak (peserta didik) tidak besar. Dugaan saya, hanya sedikit anak yang dapat mempengaruhi keputusan orangtua dalam memilih sekolah. Hampir semua 'tunduk' pada penilaian keputusan orangtua. Hal ini sangat dimaklumi karena orangtua menjadi pemegang saham terbesar bagi proses pendidikan anak-anak mereka.
Pada saat orangtua masuk dalam fase pembelian rutin, keputusan melanjutkan atau tidak dalam proses pembelian ini sangat tergantung pada ekspektasi dan pengalaman anak-anak mereka. Jika anak-anak mereka melaporkan bahwa kondisi mereka baik-baik saja dan bahagia selama berinteraksi dengan pihak sekolah, maka orangtua masih dengan senang hari melakukan pembelian rutin ( pembayaran uang sekolah) dan bahkan menjadi advocate consumer. Menurut Phillip Kottler, ada lima tahapan strategi pemasaran yakni Aware, appeal, Ask dan Advocate (Phillip Kottler ; Marketing 4.0, Moving from Traditional to Digital). Sesuai dengan tahapan tersebut orang tua tidak segan melakukan promosi dan rekomendasi kepada orang lain tentang sekolah tersebut . Namun, jika sebaliknya orangtua mendengarkan laporan negative dari anak ataupun orangtua lain tentang sekolah tersebut, maka pesan yang ditangkap sudah jelas : mengambil sikap protes ataupun bisa sampai mengeluarkan putra-putri mereka dari tempat tersebut. Fase ini menurut saya fase yang kritis. Karena mempertaruhkan kredibilitas sekolah yang ditawarkan pada saat promosi sekolah.
Fase berikutnya adalah pasca pembelian. Dalam hal ini, keterlibatan orang tua sudah sangat kecil, namun yang mempunyai pengalaman terhadap produk pendidikan adalah sang anak sendiri. Mereka membuat kesimpulan sendiri dan mampu memberikan penilaian terhadap apa yang mereka rasakan. Dalam fase ini, yang sangat terlibat adalah sang anak sendiri. Manfaat dari proses pendidikan selama mereka bersekolah sungguh mereka alami. Pertanyaan nya adalah apakah anak-anak ini sungguh-sungguh menerima pengalaman yang membuat mereka kagum atau biasa saja atau bahkan mengecewakan.
Dengan memahami fase-fase ini, sebagai pengelola sekolah tentunya bisa memetakan bagaimana sikap dan strategi sekolah dalam menjaga kontinuitas operasional sekolah mereka. Saya menawarkan sebuah pemikiran bahwa pemasaran yang dilakukan tidak hanya sebatas pada promosi dan diskon pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru. Proses pemasaran juga menjangkau seluruh fase dengan terintegrasi pada program-program yang diberikan selama proses pendidikan di sekolah dan juga hubungan baik dengan berbagai pihak yang mendukung terutama orang tua yang menyekolahkan putra-putrinya di sekolah tersebut, Artinya, paling tidak, janji yang diberikan pada saat promosi tidak hanya dipastikan dapat terlaksana tetapi memberikan kekaguman ( wow experience) kepada peserta didik dan orang tua.
Hal ini tentunya tidak dapat berlangsung begitu saja. Komitmen untuk memberikan pelayanan optimal kepada peserta didik dan orang tua harus dapat dipegang dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Tentunya, bukan berarti seluruh keinginan orang tua dapat kita penuhi. Namun, paling tidak, dengan tetap konsisten menjalankan janji-janji promosi serta melakukan pengembangan peserta didik secara optimal dapat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan. Proses ini juga harus didukung dengan penjaminan mutu layanan dari para pendidik dan karyawan yang terlibat dalam proses tersebut. Tanpa komitmen penjaminan mutu ini, impian bahwa peserta didik dan orang tua akan menjadi advocate consumer bagi sekolah tidak akan terwujud. Keep the dreams. Mimpi orang tua, peserta didik dan semua yang terlibat dalam proses pendidikan harus terus dijaga dan diwujudkan.