Lihat ke Halaman Asli

Ilham Suheri Situmorang

Pedagang kecil di sebuah gubuk rentah nan beralaskan tanah

Drama Politik 2019 yang Tidak Diregistrasi

Diperbarui: 4 September 2020   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi (Joko Widodo) sebagai petahana diusung kembali menjadi kandidat presiden oleh PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dengan di dukung beberapa partai yang tergabung dalam koalisi yaitu Partai Golkar (Golongan Karya), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Partai Nasdem (Nasional Demokrat), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat), Partai Perindo (Persatuan Indonesia), PSI (Partai Solidaritas Indonesia), dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Koalisi besar yang menghimpun jajaran partai besar, menengah hingga partai kecil dan partai baru. Dengan besarnya koalisi, seharusnya petahan hanya cukup menjaga kondusifitas sehingga tidak menimbulkan sentimen negatif masyarakat terhadap pemerintah. Walapun, masih bisa dikatakan perlu untuk menghimpun partai lainnya untuk bergabung, sehingga dapat menciptakan peluang yang sempit untuk pihak penantang membentuk koalisi yang kokoh dan menjanjikan.

Pihak penantang terpolar menjadi satu kubu, berhubung syarat Presidential Threshold yng termuat dalam UU Nomor 7 tahun 2017, Pasal 222 dengan petikan sebagai berikut:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Dengan ketentuan tersebut, sulit untuk membentuk poros ketiga, karena Presidential Threshold pilpres 2019 merujuk pada pemilihan legislatif (pileg) 2014 dengan perolehan sebagai berikut:

A.   Poros petahana/ pemerintah dengan koalisi bernama Koalisi Indonesia Kerja meraup 60,4% (enam puluh koma empat persen) kursi di DPR

  • Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (109 kursi atau 19,5% kursi DPR)
  • Partai Golkar (91 kursi atau 16,2% kursi DPR)
  • Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi atau 8,4% kursi DPR)
  • Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi atau 7% kursi DPR)
  • Partai NasDem (36 kursi atau 6,4% kursi DPR)
  • Partai Hanura 6.579.498 (16 kursi atau 2,9% kursi DPR)

B.   Poros penantang/ oposisi dengan koalisi bernama Koalisi Indonesia Adil Makmur meraup 28,7 (dua puluh delapan koma tujuh persen) kursi di DPR

  • Partai Gerindra (73 kursi atau 13% kursi DPR)
  • Partai Amanat Nasional (48 kursi atau 8,6% kursi DPR)
  • Partai Keadilan Sejahtera (40 kursi 7,1% kursi DPR)

C.   Poros yang tidak terbentuk Partai Demokrat (61 kursi atau 10,9% kursi DPR)

Sisanya, sebagai partai yang tidak dapat membentuk poros, Demokrat memutuskan bergabung dengan Poros oposisi di tandai dengan bertemunya ketua umum partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto di kediaman Prabowo pada tanggal 30 Juli 2018. Dengan demikian, poros oposisi meraup kursi DPR sebesar 39,6 (tiga puluh sembilan koma enam) kursi di DPR.

Demokrat terkesan lama dalam bergabung ke salah satu poros, karena ada harapan melalui demokrat diharapkan menjadi inisiator pembentuk poros tengah, namun karena semua partai telah membentuk poros masing-masing, upaya demokrat tersebut tentu juga berakhir. Tidak memiliki poros, dan hanya ikut bergabung dalam poros oposisi dengan hanya membawa partainya saja, (tidak memiliki rekan partai lain untuk bertawar dengan poros oposisi), demokrat semakin tidak memiliki posisi tawar yang baik. Terlihat dengan ambisi demokrat untuk mendapatkan posisi calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo dengan mengajukan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), namun tidak terealisasi. Demokrat merespon sikap poros oposisi yang tidak mengabulkan harapan partainya, dengan melakukan manuver-manuver yang terlihat di mata masyarakat sebagai tindakan yang mencerminkan ketidaksolidan koalisi oposisi. Salah satunya, ketika wakil sekretaris jenderal partai Demokrat, Andi Arief, melontarkan perkataan jenderal kardus, sehari sebelum deklarasi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dalam perjalanannya, koalisi oposisi sering mengalami perselisihan paham antara elit partai Demokrat dan elit partai Gerindra, sehingga yang terlihat adanya bara perpecahan di dalam tubuh koalisi. Jalinan komunikasi Demokrat kepada pemerintah menjadi salah satu yang di sinyalir oleh Gerindra sebagai upayah melemahkan koalisi. Dalam perjalanannya Gerindra merasa Demokrat tidak maksimal, ditandai banyaknya fungsionaris partai Gerindra yang memberikan pernyataan negatif ke partai Demokrat maupun sebaliknya.

Pasca perhitungan resmi KPU, Partai Demokrat dianggap pihak yang paling bertanggung jawab atas kekalahan kubu Prabowo-Sandi (andai saja partai Demokrat tidak ikut dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur, tentu penilaiannya akan berbeda). Buruknya hubungan ini membawa konsekuensi percaturan politik di pilpres 2019 di luar perkiraan masyarakat Indonesia bahkan partai koalisi masing masing poros. Banyak yang mengira Gerindra akan bertahan sebagai poros oposisi bersama mitranya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline