TAMU DARI JAUH
Puisi Ilham Sanrego
-1-
Seorang pengembara datang ke rumah kami, pada suatu sore yang penuh kabut
Wajahnya lusuh, kainnya lusuh
Waktu kutanya dari mana asalnya, ia menjawab sekenanya : “dari jauh.”
Sepertinya aku pernah melihat laki-laki tua dengan tongkat dari ranting cemara itu
Tapi di mana aku tak tahu
-2-
Mungkin saja ia pernah hadir dalam mimpiku
Atau angan-anganku
Atau halusinasiku
Atau aku memang sedang merindukan sosok seperti itu
Pengembara yang sangat sederhana
Dengan desah nafas teratur dan aroma tubuh yang tidak biasa
-3-
Lelaki tua yang tidak pernah memperkenalkan diri itu rupanya sangat ramah
Padaku, pada istriku, pada anak-anakku
Kuberitahu bahwa kami akan menggelar pesta
Setidaknya untuk mengantar kepergiannya
Kelak jika masanya tiba
“Pesta bagiku sudah cukup.” Katanya dengan senyum yang sama
Seperti senyum pada kedatangannya kali pertama
Baris-baris giginya yang putih tampak seperti kapas
Dagunya tegas.
Ada noktah kecil di atas pelipisnya
-4-
Kujabat tangannya
Kupeluk tubuhnya
Lalu kubisikkan sesuatu di telinganya
Ia menyeringai
--5-
Pada hari ketujuh setelah itu
Ia memanggil anak-anakku
“Waktuku segera tiba.”, katanya
Beritahu ayahmu agar ia tak murka dengan semua ini
Sampaikan kepada ibumu agar ia tak lagi menangisi perpisahan yang akan terjadi
Dan terutama kalian, cukuplah pesanku yang sederhana itu engkau lantunkan setiap waktu
Ialah bahwa kalian anak-anak yang bersikap
Segeralah mengambil bekalmu
Segeralah langkahkan pula kakimu
Segeralah tinggalkan kesepianmu
Agar matamu terbuka melihat benua-benua
-6-
Aku mengantarnya hingga ke batas paling mungkin
Agar masih dapat kurasakan betapa hangat pelukannya
Agar masih dapat kudengar betapa lembut suaranya
Agar masih dapat kusaksikan betapa indah tutur katanya
Ketika garis kesempurnaan sudah dipecundanginya, ia menoleh sekilas
Matanya berkaca-kaca
Tangisku mulai pecah
-7-
Adakah sepi yang mampu membangunkanmu pada malam yang gulita?
Ialah sepi seperti ini
Meski hari-hari kami tidak pernah berubah
Anak-anak selalu menyanyi lagu cinta
Aku memilih untuk tetap menutup mata
Gelap yang sungguh-sungguh bukanlah penjara
Anak-anak adalah busur-busur panah
Istri adalah sutra yang dijahit ke tubuh kita, dengan jarum yang tajam
Dengan benang dari surga, perihnya mengundang murka
-8-
Kemanakah pengembara yang telah merampas semuanya
Kemanakah laki-laki tua bertongkat ranting cemara
Kemanakah kucari apa pun saja yang telah sirna
Kemanakah kusaksikan buluh serunai dan larik-larik puisinya
Kemanakah kujemput kedatangannya untuk kali yang kedua
Kemanakah laki-laki yang telah hilang ini akan melangkah
Kemanakah, kemanakah,
Oooo hatiku kembara. Hendak menjadi pertapa
Agar kusaksikan lagi mercusuar dari angkasa
awan-awan yang mengiring perjalanan menuju istana
dan pelayan-pelayan yang tak pernah sengsara
-7-
Jiwaku yang kembara mengantarku hingga ke gerbang
Anak-anakku mulai berlarian
Istrikumenjadi bidadari, manik matanya mengandung luka
Masih tersisa sedikit senyum di ujung bibirnya
Lalu ketika mereka yang terus menghiburnya telah pergi
Ibu anak-anakku mulai memetik kecapi
“Pergilah, Suamiku.”katanya, “Pergi!”
Jangan pernah menulis puisi lagi
Lise, Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H