Ancol jam lima sore. Rukmo merunduk, memunguti bebatuan. Impiannya menjadi pecahan tanah. Mata sayu ibunya teliti gelisah pada Rukmo: “di sini seperti di pesisir Sidoarjo, ya Mbok? Tidak ribut seperti di Jakarta."
Rukmo sedih, mengapa hanya ibunya yang bisa teduh. Geram tiba-tiba merabung pada bocah tujuh tahun itu. Di tempeleng lalat yang hinggap di koreng kakinya. "Ini juga Jakarta, tapi pinggiran, Mo..." Mata sayu, mulut gelembur ibunya mencoba menyabarkan. Rukmo merajuk. Ditatapinya mata ibunya yang begitu sabar menerima kegetiran dari dirinya: “Mbok, Rukmo ingin pulang,” bujuk Rukmo.
Sang ibu bergeming. Rukmo kian murung. Ibu selalu punya alasan terbaik buat anaknya itu. Rukmo angkat kendi bekas yang ditemukannya di antara sampah, lalu dengan geram kecil, Rukmo membanting kendi, pecah berantakan. Dilepasnya kesal dan derita ibunya sekaligus. Tanpa sandal. Tak peduli beling, kaki Rukmo mengayun. "Hei, Mo. Mau kemana?"
"Bu, mari pulang ke Sidoarjo!"
Ancol, 29 Mei 2007
Ditanggal yang sama, setahun setelah bencana lumpur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H