Lihat ke Halaman Asli

Free Trade Area: Peta Jalan Baru Imperialisme

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Bagian Pertama dari Enam Tulisan Seri Tolak ACFTA

Oleh Ilham Q. Moehiddin

Peta perdagangan dunia kini sedang dalam masa transisi yang luar biasa. Krisis finansial global, yang bahkan dampaknya belum berlalu sepenuhnya, rupanya sempat memberi ruang pada keresahan tingkat tinggi di kalangan pelaku ekonomi dunia. Bagaimana sebuah upaya terencana dari broker-broker utang dunia dapat membalik keuntungan menjadi malapetaka bisnis yang luar biasa.

***

Perpindahan uang dalam jumlah besar dari para konglomerat Eropa, berupa pinjaman ke perusahaan-perusahaan di Amerika, yang kemudian sulit dikembalikan—sekaligus sulit dikendalikan—segera saja mengantarkan dunia pada krisis finansial yang nyaris merata. Fundamen perbankan dan pasar finansial yang lemah secara umum membuat beberapa negara langsung ambruk, namun tidak sedikit pula yang dapat bertahan karena masih sedikit membagi perhatiannya pada sektor riil.

Secara umum, Asia, yang mengambil posisi dalam perdagangan dunia sebagai produsen, mampu bertahan dari serangan krisis karena sektor riil-nya. China, India, dan—rupanya—Indonesia pun mampu bertahan dari hantaman itu, meski harus tertatih-tatih dengan menarapkan cross-line policy di sektor perbankan untuk menghindari kepanikan. Tetapi, beberapa negara maju yang selama ini menyerahkan pasar domestiknya pada kemauan liberalistik, tak urung ikut terseret arus krisis. Jepang segera mengumumkan inflasi yang membuat citra negara itu berubah dari negara donor menjadi negara pengutang.

Di tengah kekacauan finansial dunia itu, dunia kini disodori sebuah skema baru, kendati pembicaraan tentang skema ini sudah dimulai dalam beberapa putaran, dan memakan waktu hampir tiga dekade. Skema baru perdagangan dunia itu kini menjadi sorotan, lebih-lebih menjadi bahan perdebatan di negara-negara dunia ketiga. Indonesia yang termasuk negara berkembang pun tidak lepas dari debat tentang baik-tidaknya negara ini melebur dalam skema tersebut.

Free Trade Area (FTA), lalu kemudian disempitkan menjadi Asian Free Trade Area (AFTA) pun akhirnya di debat sebagai sebuah langkah prematur bagi negara-negara yang produksinya masih dikuasai industri besar. Indonesia, sama dengan umumnya negara lain di Asia Tenggara, yang tak terlampau serius mengembangkan industri riil, berada pada posisi dilematik menanggapi isu ini.

Sektor usaha besar, macam manufaktur, yang dibangun dengan modal lisensi, menyambut positif kehadiran skema AFTA/FTA. Tetapi tidak demikian dengan pelaku pasar finansial. Mereka sama utopisnya—untuk tidak menyebut mereka ketakutan—dengan isu ini, disebabkan kekhawatiran akan terjadinya pergeseran ekonomi yang tajam. Bagaimana mungkin komunitas finansial Indonesia tidak terjebak dalam keragu-raguan, jika diperhadapkan dengan sikap pemerintah yang seolah-olah menanggapi isu ini setengah hati.

Jika pemerintah mengamini FTA, mereka khawatir fundamen ekonomi akan terguling, karena ketidaksiapan sektor riil dan sumberdaya manusia. Tetapi, bila tidak, bagaimana mempertanggungjawabkan pasar Indonesia terhadap keinginan pemain-pemain industri besar.

Inilah soalnya; Indonesia memang tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar bebas.

Jika demikian adanya, akankah ekonomi Indonesia akan mengalami “kemunduran” dengan tidak meleburkan diri pada skema baru ekonomi dunia ini? Dengan tingkat pertumbuhan di rata-rata 4 persen (laporan pemerintah 2007-2008), rasanya Indonesia masih sedikit berharap pada peran ekonomi kawasan. Beberapa negara di ASEAN akan segera menjadi kompetitor penting, macam Thailand dan Malaysia, kendati kita tidak boleh menafikkan pertumbuhan ekonomi Vietnam yang juga sedang bergerak maju.

Ketiga negara ini kelihatan paling siap menyambut era perdagangan bebas ASEAN itu. Malaysia dan Thailand yang sudah sejak 25 tahun lampau sibuk mengembangkan sektor riil mereka, akan segera mendulang untung. Vietnam, yang posisi PDB-nya paling menonjol di kawasan ASEAN, bisa saja menjelma menjadi naga Asia baru dengan sektor pertanian sebagai andalannya.

Lalu bagaimana dengan China? Negara ini, belum apa-apa, sudah dicurigai pelaku pasar nasional, akan menyerbu pasar Indonesia dengan barang-barang murah mereka. Negara Tirai Bambu, bersama India dan Indonesia berhasil lolos dari gempuran krisis. Tapi fundamen ekonomi China dibanding dua negara lainnya itu, masih lebih kokoh.

Pemerintah China berhasil menjalankan berbagai kebijakan yang diawasi ketat oleh Komite Pusat Partai Komunis China. Negara ini “mengusir” sejumlah investor yang dinilai tidak bisa diandalkan untuk memajukan ekonomi mereka, lalu menasionalisasi aset perusahaan-perusahaan tersebut. Ini bukan langkah berani semata—kendati dikecam negara-negara Eropa dan Amerika Serikat—tapi China tidak bisa sama sekali menggantungkan roda industri rakyat-nya pada sistem ekonomi biaya tinggi (kapitalistik) yang dianut barat. China tahu benar, jika ini dilanjutkan, jutaan sektor industri rumahan yang dijalankan warga akan terseret arus biaya tinggi, dan membuat barang-barang produksi mereka menjadi tidak laku karena mahal. Jadi, opsi pemerintah China itu bukan tanpa alasan.

Pengetatan model China ini, diikuti India. Namun demikian, India tidak bisa sepenuhnya menolak barat. Alasannya, tentu saja, politik global. India mendapat sokongan sejumlah negara besar Eropa dalam program nuklir mereka. Jadi cukup sulit bagi India melakukan langkah ala China dengan menaturalisasi sejumlah investasi asing yang dinilai mengancam industri dalam negeri. Satu hal yang menolong India adalah pengalaman negeri ini dalam program “Cinta Produk Negeri Sendiri” yang digagas lebih dari 50 tahun silam oleh Mahatma Gandhi.

Karena warga India sudah terbiasa menggunakan produk dalam negeri, dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia, maka aliran modal keluar negeri secara besar-besaran bisa ditahan. Produk asing bukan prioritas, hingga sulit mendapat tempat dihati mayoritas warga India. Karena permintaan yang melonjak, dan daya dukung produksi yang makin modern, negara ini berhasil menepis krisis 2007-2008 lalu dengan enteng.

Indonesia pun tertolong dengan gaya hidup komsumtif masyarakatnya. Gaya hidup model orang Indonesia inilah yang memancing aliran modal deras masuk ke Indonesia. Bahkan sejumlah barang mewah dicabut dari daftar pajak, sehingga intensitas aliran barang masuk sangat tinggi. Inilah yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia pada level 4 persen.

Dengan pola konsumtif masyarakat Indonesia, ditambah sektor riil yang belum berkembang baik, juga dukungan birokrasi yang masih bersalut korupsi, agaknya sulit menempatkan Indonesia dalam kategori siap menghadapi era AFTA.

Kondisi Indonesia itu diperparah dengan masih tingginya jumlah masyarakat yang tidak berdaya karena sejumlah sektor penting dikuasai asing dan dikelola secara serampangan, macam sektor tambang, industri logam berat, industri manufaktur, dan sejumlah industri berbasis padat modal.

Sektor tambang misalnya, bagaimana pemerintah dapat memajukan sektor riil, semisal pertanian, perkebunan, perikanan—yang sangat nyata menguntungkan dan mampu menarik ribuan, bahkan jutaan tenaga kerja—jika lingkungan alam sudah dirusak para perusahaan tambang yang bekerja secara serampangan. Tidak ada upaya perbaikan terhadap lahan konsesi yang mereka pinjam, meracuni tanah dengan semua jenis limbah logam berat, membangun rasa permusuhan di tengah masyarakat, dan lain sebagainya, adalah sejumlah tindakan yang harus segera dilihat pemerintah.

Sudah saatnya pemerintah melakukan aksi yang sangat tegas terhadap investasi biaya tinggi model pertambangan di Indonesia. Jika perlu melakukan langkah progresif seperti China, adalah sebuah langkah tepat untuk mengurangi kehancuran bumi Indonesia. Penguasaan asing terhadap tambang nasional harus dikurangi, lalu kemudian dihapuskan, agar BUMN seperti Antam dapat lebih berdaya, dan mampu menampung tenaga kerja dan terbukanya lapangan kerja baru. Indonesia memiliki sistem ekonomi Pancasila, tidak dapat seterusnya di dikte oleh sistem ekonomi kapitalistik yang hanya menguntungkan dunia barat.

Peta Baru Imperialisme.

Hampir separuh penduduk dunia pernah terluka ketika era imperialisme menghancurkan berbagai tatanan kemasyarakatan di berbagai belahan dunia. Imperialisme-lah yang kini menciptakan puluhan negara dalam jurang kemiskinan. Dan dengan semena-mena, negara-negara pelaku imperialisme, memberi cap pada negara-negara yang telah habis mereka gerogoti itu dengan label “negara dunia ketiga” atau negara miskin.

Padahal, sebelumnya, negara-negara itu adalah sebuah yuridiksi yang sehat, makmur dan kaya. Benua Afrika, dahulunya dikenal penuh dengan negara-negara kecil berdaulat, yang mengklaim kekayaan budaya dan harta benda yang tidak ternilai harganya—bahkan berlian terbesar di dunia yang kini disimpan di Buckingham Palace—dirampok tentara pendudukan Inggris di Afrika Selatan untuk kemudian dipersembahkan kepada Ratu Inggris.

Tapi, lihatlah kini nasib negara-negara itu, setelah ratusan tahun diduduki imperialisme dan kolonialisme. Perampokan oleh negara-negara Eropa selama ratusan tahun di benua hitam itu, secara perlahan-lahan menenggelamkan warisan kebudayaan dan menghilangkan kekayaan dan kemegahan di seantero Afrika. Kota-kota megah telah berganti menjadi permukiman yang lebih mirip desa. Para raja penguasa Afrika bahkan tak dihormati lagi, mereka lebih banyak menjadi boneka kolonialisme.

Hasil dari perampokan kebudayaan dan ilmu pengetahuan selama ratusan tahun itu kini dengan bangga dipertontonkan para eufemistik Eropa di galeri-galeri mereka, sementara Somalia, Sudan, Zimbabwe, Ethiopia, Mali, Togo, Zenegal yang dahulu ditinggalkan Sulaiman dalam keadaan kaya-raya berubah menjadi negara miskin, yang diwarnai kelaparan, dan aksi genosida. Setelah dikuras, mereka ditinggalkan dalam keadaan yang menyedihkan.

Imperialisme dan Kolonialisme-lah penyebab itu semua. Dan semua itu berawal dari perdagangan.

Nasib Asia (Timur dan Tengah), negara-negara di Timur (Tengah dan Jauh), setali tiga uang dengan Afrika. Kawasan-kawasan tersebut, silih berganti di kuasai lima kolonialis besar; Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol, dan Portugis.

China nyaris melepas kota Shanghai sebagai koloni Inggris dan Perancis, tapi pada akhirnya harus merelakan Hongkong pada Inggris akibat dampak Perang Candu. India, kurang lebih tiga abad menjadi koloni Inggris, hingga nyaris memperbudak separuh penduduknya. Indonesia berada di bawah telapak kaki Belanda juga selama tiga abad, lalu silih berganti oleh Spanyol dan Portugis. Ketiga negara kolonial itu, pun nyaris menguras habis semua kekayaan alam Indonesia untuk membiayai perdagangan dan peperangan mereka di Timur Jauh.

Mesir hingga kini, walau absurd, masih berada di bawah kendali Inggris. Bahkan Arab Saudi masih menjadi boneka Amerika Serikat. Dan, semua itu berawal dari perdagangan.

Peta politik ekonomi Eropa ketika itu diwarnai dengan perlombaan lima kerajaan besar (Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol, dan Portugis) dalam mencari benua baru, yang dalam abad-abad itu dikenal kini dengan The Old Road Map of Imperealism, atau Peta Jalan Lama Imperialisme. Ternyata, tujuan Peta Jalan Lama Imperialisme itu hanya semata-mata penguasaan, penaklukan, dan kolonialisme.

Dan, hampir satu milenium lebih, negara-negara barat (Eropa dan Amerika Serikat) hendak mengulang romantisme masa kejayaan lampau mereka dengan Peta Jalan Baru Imperialisme yang dibungkus sangat rapi dalam Free Trade Area (World Trade Organization).

Sebagaimana Peta Jalan Lama Imperialisme yang dimulai dengan jalan perdagangan, maka Peta Jalan Baru Imperialisme itu diupayakan melalui jalan serupa; perdagangan bebas. Jika dahulu Eropa mengupayakan penguasaan komoditas utama, yakni rempah-rempah, dengan membuka perdagangan bebas di hampir semua pelabuhan utama dunia, dan kemudian berakhir dengan kolonialisme, maka bisa dimaklumi, jika kini perdagangan bebas yang inisiasi dua kekuatan ekonomi Eropa-Amerika Serikat bertujuan menguasai pasar produk mereka.

Pasar Eropa dan Amerika Serikat sudah jenuh dan terlalu kecil untuk bisa dinikmati sejumlah korporasi raksasa industri yang berada di bawah kendali mereka, sedang niat untuk mendesakkan distribusi produk mereka seringkali terhalang kebijakan bea masuk negara-negara tujuan, yang secara langsung menambah biaya dan mengurangi nilai ekspor. Maka satu-satunya jalan adalah menciptakan sebuah peta jalan baru bagi kepentingan ekonomi mereka yang lebih besar.

Hambatan dan Efek Samping Pasar Bebas

Ekonomi dunia modern tidak lagi mengenal batas negara. Klaim tidak lagi berdasar pada batas-batas negara dan jenis-jenis komoditas, maka seketika perang ekonomi berganti haluan. Entitas negara telah berganti dengan icon-icon perusahaan raksasa, macam Microsoft, Carefour, Wall-Mart, Sony, Samsung, Smith and Wetson, Airbus, Boeing, dan banyak lagi. Satu-satunya jalan untuk menguasai pasar secara permanen hanyalah dengan melakukan preasure terhadap komoditas saingan, secara langsung, di negara mana produk tersebut di produksi.

Satu lagi hambatan perdagangan dunia selama ini adalah pasar gelap. Lalu lintas barang dan keuntungan ternyata lebih banyak beredar di pasar gelap ketimbang di pasar legal. Sifat pasar gelap yang menihilkan semua patron-patron yang biasa digunakan di pasar legal membuat pasar gelap lebih populer. Bea masuk, pajak barang mewah, lisensi, garansi, potongan pajak, perolehan keuntungan pihak ketiga, sama sekali tidak dikenal dalam kamus pasar gelap. Maka black market menjadi salah satu musuh utama peta perdagangan sejumlah raksasa industri tadi.

Hambatan lainnya juga datang dari masih berbedanya mata uang. Inilah mengapa Eropa dan Amerika Serikat getol memperkenalkan dan mendesak negara-negara dunia ketiga dan negara-negara berkembang—lewat instrumen Bank Dunia—untuk menerapkan mata uang kawasan, atau mata uang tunggal. Bahkan Eropa sudah merelakan diri, untuk menjadi contoh, dengan memberlakukan mata uang tunggal Eropa, Euro.

Sampai kini tidak ada bukti empirik yang menunjukkan sistem mata uang tunggal itu terbukti berhasil diterapkan. Satu-satunya petunjuk bahwa komunitas moneter Eropa masih ambigu berkenaan dengan sistem ini ialah, Inggris masih kuat menolak melebur poundsterling dalam euro, dengan alasan yang sangat masuk akal; nilai tukar poundsterling masih lebih tinggi dibanding euro.

Jika menarik hambatan-hambatan tadi di market domain Asia, dan hubungannya dengan masuknya Indonesia dalam panel FTA/AFTA, agaknya sangat sulit. China tidak akan rela melebur mata uang Yuan dengan mata uang sejumlah negara di Asia. Sebab jika ini dilakukan, maka China harus menurunkan suku bunganya dan juga nilai tukarnya, kemudian dirata-ratakan pada nilai mata uang yang rasional untuk digunakan dalam kawasan. Bahkan, nilai tukar Yuan lebih tinggi dibanding Dolar Amerika dan Poundsterling Inggris.

Namun soalnya, akan ada sejumlah usaha yang terpaksa memotong anggaran produksi karena perubahan nilai tukar. Bahan baku yang tadinya bisa dibeli murah, kini harus terpotong setengahnya. Jelas, yang merasa beruntung adalah negara yang selama ini memiliki nilai tukar mata uang rendah, macam Indonesia.

Kemudian membubarkan pasar gelap di kawasan Asia tidak segampang jika diserukan. Pasar gelap Asia yang telah lama dikuasai sindikat mafia akan bergolak, dan ini dampaknya akan membahayakan kawasan. Hilangnya mata pencaharian mereka, akan memaksa mereka mencari lahan operasi baru, atau mereka akan mengacaukan pasar dengan tetap mensuplai barang-barang murah, sehingga menambah kerasnya persaingan.

Namun, apapun hambatannya, Free Trade Area ini adalah peta jalan baru bagi cita-cita imperialisme dan penguatan koloni-koloni ekonomi kapitalistik. Penjajahan model baru ini hanya bisa dihindari dengan tidak menyetujui, menolak, atau keluar sama sekali dari panel pasar bebas yang sudah dirancang Eropa dan Amerika Serikat.

Memangnya apa salahnya dengan sistem ekonomi pasar terbatas? Bukankah dengan tidak menyerahkan sepenuhnya mekanisme ekonomi pada pasar bebas, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan memiliki kesempatan luas membangun ekonominya yang berlandaskan pembangunan sektor riil. Inilah pasar yang lebih mensejahterakan, ketimbang pasar bebas.

Sebab, dalam pasar bebas, tidak saja lalu lintas perdagangan yang terbuka, namun semua efek samping dari pola hidup hedonis-materialisme, seperti kehancuran moral, obat terlarang, gaya hidup bebas, akan ikut terbawa-bawa. Dan, Indonesia sama sekali tidak siap menerima semua efek samping itu. TOLAK PASAR BEBAS. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline