Lihat ke Halaman Asli

Me-Reevolusi Sistem Ujian Nasional

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Oleh Ilham Q. Moehiddin

Mendekati sasaran utama dengan pola yang terencana, harus simetris dalam tindakan dan sifat sasaran utama tersebut. Jika berbeda sedikit saja, jangan harap “berhasil” Anda dapatkan. Tetapi, mematahkan stereotype dengan langkah revolusioner kadang diperlukan, walau maksud dari tindakan itu sekadar memastikan apakah langkah terdahulu yang kita lakukan itu, sudah benar, atau mesti dirombak sama sekali.

***

Ujian Nasional baru saja dimulai beberapa hari berselang, belum lagi usai. Beberapa hari lalu itu, benar-benar dijadikan momentum kalangan pendidikan nasional, dan seluruh masyarakat, untuk membuktikan, bahwa Ujian Nasional ini, memang perlu, atau tidak sama sekali.

Kalangan yang melihat Ujian Nasional sebagai alat ukur yang baik, memposisikan pendapatnya, bahwa mekanisme inilah yang paling tepat dijadikan sebagai alat ukur. Namun, pada kalangan yang berseberangan pendapat, Ujian Nasional dilihat sebagai upaya pembelaan diri sejumlah lembaga, dan menempatkan pembenaran itu di atas ketidakmampuan mereka menggebas sistem pendidikan nasional yang paripurna.

Sangkaan pihak pertama, sejauh ini, ada benarnya. Apakah, juga sangkaan pihak lainnya itu memuat kebenaran yang sama, atau justru tendensius sama sekali? Sebab, lembaga pemerintah untuk urusan pendidikan nasional, Departemen Pendidikan Nasional, memang tampaknya tidak pernah belajar dari banyak kejadian empirik yang berlaku di atas ranah pendidikan Indonesia, baik di Jakarta atau pun di daerah-daerah.

Ujian Nasional sebagai Alat Ukur

Akhirnya, tiba juga masanya, Ujian Nasional dilihat sebagai faktor penghambat kemajuan anak didik. Dahulu, pada jaman saya, Ujian Nasional ini begitu “tolak” sekaligus pula “dinanti-nanti”. Kata “ditolak” disini, tidak sama artinya dengan penolakan yang ada sekarang terhadap objek yang sama. Oh...jauh beda sama sekali.

Dahulu, pada awal tahun 1990-an, kami “menolak” Ujian Nasional, karena sejujurnya...anak sekolah pada masa itu masih betah berlama-lama di SMA. Masih betah berlama-lama dengan romantisme sekolah menengah yang memang sarat kisah itu. Siapa pun yang menemui masa itu, pastilah merasa nyaman, menyaksikan gerombolan gadis—adik kelas yang manis-manis itu—melintas di lapangan depan kelas Anda; sedikit menggoda mereka di kantin sekolah; atau, usil bersama kawan se-gank. Seorang kawan, malah, masih merasa perlu menceritakan keusilannya; berteriak-teriak mengepung gadis-gadis adik kelas sebelah, membuat mereka menangis, lalu terbirit-birit lari menghindari petugas BP yang galak.

Sekaligus “dinanti-nanti”, sebab kami dihampiri kejenuhan rutinitas di SMA yang saban hari, selama tiga tahun, hanya itu-itu saja. Belum lagi mendengar agitasi kakak-kakak kami yang sudah berkuliah itu; tentang kebebasan mereka mau masuk kuliah atau tidak, tentang posisi mereka terhadap dosen, dan tentunya, tentang bentuk romantisme yang berbeda.

Tetapi, selebihnya, karena Ujian Nasional di awal 1990-an itu, masih lebih asik, ketimbang pelajarannya itu sendiri. Bagaimana tidak asik; Anda hanya perlu mensarikan pelajaran Anda, lalu menjawab soal-soal sebanyak 100 nomor itu. Bukankah ini masih lebih asik, dari pada harus membaca buku paket pelajaran yang bahasanya kaku itu. Masih lebih oke, dari pada harus mendengar ocehan guru selama enam jam. Di jaman itu pun, standar nilai kelulusan, yang sekarang diributkan itu, sudah ada loh...

Namanya, Nilai Ebtanas Murni (NEM). Ebtanas itu singkatan dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Lucu ya...? Singkatan yang lalu disingkat lagi... Cara menghitungnya pun gampang; tinggal menjumlahkan nilai yang diperoleh siswa untuk semua mata uji dalam Ebtanas, lalu dibagi dengan jumlah mata pelajaran yang diujikan, hingga diperoleh angka rata-rata. Peringkat kelulusan terbaik ditentukan dari seberapa tinggi setiap siswa memperoleh angka rata-rata itu.

Elannya berbeda, mekanisme juga berbeda. Tentu saja.

***

Agaknya, Depdiknas, sebagai lembaga pemerintah harus mengusulkan moderasi kebijakan Ujian Nasional ke parlemen untuk disetujui. Ujian Nasional sekarang ini, telah dilihat sebagai momok, maka secara psikologis, mekanisme ini cenderung ditolak. Tetapi, lembaga itu, untuk sementara, hanya punya sistem ini sebagai alat ukur utama dalam tanggungjawabnya membangun parameter pendidikan nasional.

Sebagai alat ukur utama, mekanisme Ujian Nasional telah dibangun sedemikian rupa, untuk—seharusnya—memenuhi tuntutan lembaga-lembaga pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia. Terus terang , mekanisme ini sangat menghabiskan dana dan sumber daya.

“Wah...itu proyek dong?” Hahaha...iya, tentu saja.

Di dalam sebuah program, Anda membutuhkan alat ukur yang baik dan efektif, untuk mengetahui sampai dimana progresifitas program Anda. Alat ukur itu, akan memberi informasi pada Anda, bahwa dalam struktur program Anda ada beberapa bagian yang lemah; ada beberapa bagian yang kuat; ada beberapa bagian yang perlu dibenahi secara serius; dan ada beberapa bagian yang perlu dirombak total. Termasuk; apakah Anda harus terus melanjutkan program ini atau menghapusnya sama sekali.

Saya, tidak sedang memposisikan diri menolak atau setuju-setuju saja perihal Ujian Nasional ini. Bagi saya, sejauh ini, Ujian Nasional ini baik, dalam artian sebagai alat ukur. Tetapi, jika ada yang resah dengan penerapannya, tentu saya akan berfikir, ada yang salah dalam Ujian Nasional ini.

Apa mungkin karena pengelolaannya yang sentralistik? Boleh jadi. Apa mungkin Depdiknas tidak memiliki data faktual tentang kondisi bahan ajar dan mekanisme belajar-mengajar di setiap lembaga pendidikan di Indonesia? Saya yakin ada, tetapi saya juga pesimis tentang akurasi datanya. Apa mungkin Depdiknas terlalu membebaskan beberapa elemen penting alat bantu pendidikan berada di luar domain yang seharusnya? Ini pun boleh jadi penyebabnya.

Saya bertanya ke beberapa orang—termasuk sejumlah kawan—yang aktif sebagai pendidik, apa yang mereka lihat dalam soal-soal Ujian Nasional yang dikirimkan dari Depdiknas itu? Lalu saya mencari sejumlah literatur yang paralel, untuk mencari tautan perihal bagaimana memformat pertanyaan-pertanyaan ujian, sejumlah implikasinya, dan dukungan peraturannya.

Kawan-kawan yang saya temui, rata-rata mengeluhkan tentang daftar pertanyaan dalam Ujian Nasional—mereka mengambil contoh soal Ujian Nasional tahun lalu—yang hampir 35 persen belum pernah diajarkan, bahkan tidak terakses oleh mereka dan anak didik mereka. Wah...ini serius neh. Pantas saja, para peserta ujian di beberapa daerah—khususnya di sekolah-sekolah di wilayah yang jauh dari kota provinsi atau kota kabupaten—tidak dapat menjawab soal-soal Ujian Nasional.

Ditolak, Tapi Perlu

Ada guru yang gelisah, ada pula yang tenang-tenang saja. Ada pula murid-murid yang risau, tetapi ada juga yang tetap cool.

“Bagaimana tak gelisah, kalau pemerintah sepertinya tak hirau dengan pendapat dan penilaian kami? Ujian Nasional itu, kan, sistem yang terlalu memberatkan murid-murid kami.” Kata guru-guru yang gelisah tadi.

“Repot, pak. Masa’ iya sih, setiap tahun standar nilai kelulusan naik terus...? Tahun kemaren naik menjadi lima, sekarang standarnya naik lagi jadi 5,5. Dari mana dasar penghitungannya seh? Pelajarannya kan nggak nambah-nambah, itu-itu aja.” Kata siswa-siswa yang risau itu. Risaunya itu dicampurnya dengan marah-marah pula.

Tetapi, dengar juga pendapat pihak yang tak terganggu, dan tenang-tenang saja ini. Biar adil saja.

Lho, tujuan Ujian Nasional kan untuk memantau progresifitas sistem pendidikan; sudah bagus, atau apakah masih harus dibenahi. Ujian Nasional ini alat ukur, hanya tools saja. Pemerintah juga kan gak mau program pendidikan nasional mengalami kegagalan. Kalau belum apa-apa, kita sudah mengeluhkan sistem, yang bahkan kita sendiri sudah maklum targetnya untuk apa, kita ini opportunis sekali. Menuntut perbaikan, menuntut anggaran. Begitu pemerintah memberi keleluasaan , kita sendiri malah yang membangun halangan itu.” Kata tenaga pengajar yang tak risau itu.

Output-nya sudah kelihatan. Tahun lalu saja, angka kelulusan, jauh di bawah harapan. Apa mungkin Anda tidak risau dengan kondisi itu?” Tanya saya, selidik.

Dia menarik senyum, agak kagok, tetapi dijawabnya juga, “bukan begitu, mas. Soalnya kan, ini adalah alat ukur saja. Kalau ternyata banyak siswa yang tidak lulus karena penggunaan alat ukur itu, maka masalahnya perlu dicari pada guru dan muridnya. Bisa saja kan gurunya kurang telaten mengajar, atau justru muridnya yang kurang menyimak pelajaran, hingga kurang cakap.”

Bagus. Saya senang, dia membela pendapatnya.

Tetapi, bagi saya, kita sudah bisa menemukan ujung beberapa benang merah dalam penerapan beberapa program di pendidikan Indonesia, sekaligus dua persoalan klasik para komponen pendidikan. Selanjutnya kita bisa dengan saksama menelusuri benang-benang merah itu hingga ke ujung yang lainnya.

Benang-benang merah itu adalah; standar nilai kelulusan dalam Ujian Nasional, penggunaan Ujian Nasional sebagai alat ukur, dan output yang diharapkan dalam penerapan alat ukur tersebut. Sedang dua persoalan klasik lainnya, yakni; kecakapan guru, dan kemampuan murid.

Kita lihat, apa kita bisa berdiri di tengah menanggapi polemik ini.

***

Kalangan yang tidak sependapat dengan penerapan sistem baru penilaian akhir terhadap proses belajar mengajar itu, segera memvonis sistem ini melanggar hak asasi manusia. Murid dan guru memang terkesan dipaksa untuk menggunakan sistem, sementara menurut mereka, Depdiknas belum menyiapkan infrastruktur dan ruang yang cukup bagi daya dukung sistem tersebut. Ini membuat semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia terkaget-kaget.

Kalangan ini setengah tidak percaya, bahwa jalan yang sedang mereka tempuh dalam kebijakan pemerintah itu, tidak berbanding lurus dengan keinginan UUD terhadap tanggungjawab pemerintah mengelola pendidikan nasional. Pemenuhan anggaran pendidikan yang sudah sesuai konstitusi, sesungguhnya bertujuan memajukan pendidikan dan membuang hambatan sistemik—yang berbau kolutif dan koruptif—yang selama ini terbukti mengganggu kebangunan pendidikan di Indonesia.

Pemenuhan anggaran pendidikan itu juga dimaksudkan hendak me-rebuilding sistem pendidikan yang memenuhi harapan masyarakat akan akses dan peruntukan pendidikan yang setara dan berkelanjutan. Sayangnya, menurut kalangan resistensir ini, niat-niat baik itu keburu hendak dirobohkan dengan sembarang kebijakan yang mereka anggap tidak mendukung kehendak konstitusi, sama sekali. Semisal, kata mereka, Ujian Nasional itu tadi.

Jika anggaran sudah dipenuhi sesuai harapan konstitusi, lantas mengapa Depdiknas RI kemudian terkesan mendesakkan program-program yang justru jauh dari tuntutan pendidikan terkini? Apa benar demikian? Saya pun sepenuhnya tidak sepakat dengan tendensi ini. Belum tentu, kebijakan yang ada—perihal Ujian Nasional—seketika tidak segaris dengan tuntutan konstitusi dan pendekatan pendidikan terkini.

Pada Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebut bahwa; sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (bagian Menimbang, huruf C).

Lalu, masih pada Undang-Undang yang sama, pada Pasal 6, bagian 1, disebutkan; Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Dan bagian 2, disebutkan pula; Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.

Tetapi, dunia pendidikan Indonesia, menurut para kritikus pendidikan, belum berpijak pada hal-hal yang esensial, semisal, pemenuhan sarana pendidikan yang memadai, alat pendidikan yang berkualitas, tenaga pengajar yang bagus, biaya pendidikan yang murah, terjangkaunya pendidikan bagi semua orang Indonesia (maksud saya...semua orang Indonesia...bukan semua anak Indonesia loh ya...). Jika mau yang lebih ekstrem; dengan mengacu pada Undang-Undang di atas, maka bisa saja negara memberi sanksi pidana kepada warga negara yang tidak mau bersekolah. Itu pun, jika mau...loh!

Tetapi, saya pun dapat memahami dasar kritikan itu, bahwa Depdiknas memang belum menyentuh keseluruhan hal-hal subtantif dalam isu pendidikan nasional. Kesenjangan antara lembaga pendidikan negeri di daerah dan Jakarta—minimal yang paling dekat dengannya—sangat jelas terlihat. Masih banyak lembaga pendidikan negeri yang berada di daerah-daerah yang belum tercukupi sarana prasarananya. Tenaga pengajar berkualitas belum terbagi secara merata, bahkan masih ada tenaga pengajar—Guru Tidak Tetap—yang belum beruntung menjadi guru tetap berstatus PNS bertahun-tahun demi mengajar di daerah terpencil. Masih banyak hambatan subtantif yang belum pungkas sama sekali.

Gambaran-gambaran ini, makin memperjelas dilematisnya posisi pendidikan nasional kita. Seolah-olah, segala program yang diluncurkan departemen ini berlari sangat kencang meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan negeri jauh tertinggal dibelakangnya. Lalu...sekarang dunia pendidikan Indonesia disodori sistem Ujian Nasional..yang ditentang sebagian orang, dan diterima sebagian orang yang lain.

Revolusi Sistem Ujian Nasional

Saya khawatir, persoalan Ujian Nasional ini, akan lebih berdarah-darah, dibanding menonton parpol “adu kuat” di Senayan. Saya khawatir, ada pihak yang gagap menterjemahkan “alat ukur”, ketimbang melihat cekatannya remaja sekarang bergaul di Facebook dan Twitter. Saya risih, mendengar ada yang bilang; “Gak usah ikut UN...percaya aja, anak kita pinter-pinter kok. Apa iya, sekolah bertahun-tahun...bisa gagal dalam sehari, hanya karena gak bisa menjawab satu-dua soal Ujian Nasional?”

Ujian Nasional seharusnya tidak menggunakan pola yang ada sekarang. Sistem ini bisa tetap ada, namun sebisa mungkin polanya diterapkan secara lebih fleksibel saja. Semisal, soal-soal untuk Ujian Nasional tidak dibuat secara sentralistik. Bukankah, pengertian “nasional” tidak harus melulu diartikan “Jakarta” atau “pusat”, hanya karena predikat “nasional” melekat di belakang objek “ujian”...?

Mari kita buat ilustrasinya, untuk memperjelas apa maksud saya.

Seorang siswa di suatu SMU di kabupaten A, jika pindah ke suatu SMU di kabupaten lainnya, pada provinsi yang sama, akan mengalami kesulitan mengikuti proses belajar mengajar. Jika bukan, karena materi yang dia terima di sekolah barunya lebih cepat dari materi yang sama yang diperolehnya di sekolah lama, maka tentulah lebih lambat.

Contoh lainnya; seorang siswa kadang mengaku kebingungan dengan perbedaan penggunaan buku panduan pelajaran (buku paket) yang dipakainya di sekolah lama, dengan buku paket yang digunakan di sekolah baru.

Amsal lainnya; ada siswa yang ternyata tidak paham terhadap penjelasaan materi pelajaran yang sama, dibandingkan oleh siswa di sekolah lainnya.

Pada case sample yang pertama; hal demikian terjadi dikarenakan perbedaan penerapan kalender pendidikan, yang penerapannya seharusnya serentak dan terpadu. Anehnya, penerapan kalender pendidikan yang berbeda, demikian ini kerap terjadi.

Pada case kedua; sekolah kadang menerapkan kebijakan internal sendiri-sendiri dalam penggunaan buku paket pendukung pelajaran, di luar kebijakan dinas pendidikan setempat—atau, bahkan Depdiknas. Padahal, seharusnya, ini tidak boleh terjadi dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.

Departemen Pendidikan Nasional bahkan telah membeli paten sejumlah buku pelajaran untuk disebar secara digital, dengan maksud memangkas kesenjangan dan keluhan yang kerap datang mengenai ketidakefisienan proses belajar mengajar karena hambatan tiadanya buku paket yang sifatnya fundamental itu. Nah, anehnya, ini juga kerap terjadi. Terbukanya keran kebijakan penggunaan buku paket yang dapat diperoleh secara digital itu tadi, tidak diikuti dengan penutupan keran terhadap kepentingan bisnis penerbit buku pelajaran yang kerap “berkeliaran” di sekolah-sekolah, menjajakan buku paket mahal—dan menjanjikan keuntungan fee pada guru—yang memuat materi yang agak berbeda dari yang dirujuk oleh Depdiknas.

Belum terdistribusinya bantuan komputer dan sarana internet ke seluruh sekolah di Indonesia adalah pula salah satu faktor penghambatnya. Buku pelajaran yang sudah dapat diakses bebas oleh guru dan murid itu, tentu saja belum dapat dinikmati oleh sekolah yang tidak memiliki perangkat komputer dan akses internet. Lubang ini segera dimanfaatkan oleh para distributor buku paket pelajaran untuk masuk. Adanya kasus, buku paket pelajaran berbau porno, sedikit banyak membuktikan kelemahan di sisi ini.

Kecuali pada case ketiga ini, yang masalahnya berputar pada kualitas guru. Pada kasus ini, baik tidaknya guru membangun pemahaman tentang suatu materi, akan sangat menentukan bagaimana siswa membangun faham yang sama. Karena soalnya adalah “faham yang baik” tentang materi pelajaran dalam kurikulum yang sama, maka seharusnya, semua guru memiliki pula kesamaan faham dan cara menjelaskannya pada siswa.

Tetapi...Preekkk...ternyata Depdiknas sangat tulalit menerapkan sistem sertifikasi guru. Masih banyak guru yang belum memiliki sertifikat sebagai bukti mereka layak mengajar.

Di tengah invaliditas semua komponen pendukung pendidikan nasional seperti di atas, Depdiknas justru makin “menggila” dengan sistem Ujian Nasional dengan standar tinggi itu—atau bolehlah saya mengistilahkannya “berstandar ganda”; di satu sisi Depdiknas, dengan sistem Ujian Nasional ini, seperti hendak membuktikan bahwa mereka bisa memenuhi harapan konstitusi, namun di sisi lain, mereka memberi kesan pada masyarakat bahwa mereka sedang menguji kehandalan sistem ini. Preekkk...lagi lah...

Kembali ke soal sistem Ujian Nasional yang seharusnya fleksibel itu...maka semestinya soal untuk Ujian Nasional tidak dikelola secara sentralistik dan tertutup, tetapi dibuat terbuka dan melibatkan dinas pendidikan di daerah-daerah.

Soal-soal untuk Ujian Nasional dapat diformat sesuai kebutuhan dan pencapaian batas kurikulum yang berlaku di daerah-daerah. Ini untuk menghindari kesenjangan siswa dalam memahami dan menjawab soal. Pembuatan soal Ujian Nasional, melahirkan kesan, bahwa Depdiknas seolah-olah tidak tahu-menahu masalah pencapaian siswa dalam proses belajar mengajar, yang terjadi di daerah-daerah. Jadi, tak perlu heran, jika masa Ujian Nasional tiba, tingkat kelulusan siswa merosot, yang lebih disebabkan karena masih ada siswa yang bahkan belum pernah menerima materi yang termuat dalam soal.

Jika yang disebut-sebut selama ini, bahwa penyebab tingginya angka siswa yang tak lulus adalah standar nilai kelulusan, maka persoalan yang sebenarnya—seperti dalam ilustrasi di atas—tak akan pernah diketahui, dan gagal ditelusuri lebih lanjut oleh Depdiknas.

Logikanya, seberapa pun tingginya Depdiknas menerapkan standar nilai kelulusan, jika siswa mampu menjawab soal-soal sesuai materi pelajaran yang telah mereka dapatkan, maka mubazir mempersoalkan sistem Ujian Nasional ini lebih lanjut, bukan? Masalah ini akan pungkas dengan sendirinya.

Karena menyadari masalah yang sebenarnya, maka saya pun senang sekali mengemukakan usulan ini. Bahwa, soal Ujian Nasional tidak lagi dibuat atau diformat di kantor Depdiknas Pusat, tetapi pengelolaannya bisa diserahkan pada dinas pendidikan di daerah-daerah, yang mana mereka lebih tahu seberapa tinggi rendahnya pencapaian pendidikan di dearah setempat.

Formulanya, atau cara memformat soal-soal itu, tak perlu berubah, yang disesuaikan hanyalah, soal ujiannya dengan materinya. Demikian pula dengan format standar penilaian, format penentuan angka kelulusan, format pengawasan, format distribusinya, dan format kerahasiaan negara yang terkandung didalamnya.

Desentralisasi pembuatan soal Ujian Nasional ini akan memberi banyak keuntungan dalam pelaksanaannya; soal-soal Ujian Nasional itu akan mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa—seberapa pun sulitnya soal itu disuguhkan—karena soal ujian dibuat sesuai pencapaian materi pelajaran di daerah itu; akan memudahkan dalam mencapai standar nilai kelulusan, seberapa pun tingginya standar itu; juga akan memudahkan dalam penentuan angka kelulusan dengan memuaskan, dan tidak mengundang protes serta kritikan; pola distribusi soal-soal ujian itu lebih efisien dan ekonomis, dikarenakan wilayah cakupannya dan pendeknya rantai distribusi; dengan mudah lembaga pendidikan nasional setempat membangun pola pengawasan ujian yang melibatkan semua stakeholder (Diknas setempat, guru, lembaga swadaya masyarakat independen, kepolisian, komite sekolah, BPOG, bahkan jurnalis).

Jika desentralisasi sistem Ujian Nasional ini bisa diberlakukan seperti ini, ke depan kita tidak akan disibukkan dengan kasus-kasus klasik seperti kebocoran soal (dikarenakan rantai distribusinya yang panjang, hingga membuka pintu peluang kebocoran soal di tengah jalan, seperti yang ditemukan Komunitas Air Mata Guru di Medan); penggabungan sekolah-sekolah peserta Ujian Nasional (seperti kasus penggabungan 27 SMU di Jawa Barat karena tidak memenuhi standar jumlah siswa peserta ujian).

Tertukarnya soal Ujian Nasional (kasus tertukarnya soal ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Inggris di Bali); curiga mencurigai antara pengawas ujian (kasus penyitaan phonecell para pengawas oleh panitia pelaksana di beberapa provinsi); peredaran kunci jawaban soal ujian melalui pesan singkat elektronik (kasus peredaran Kunci Jawaban Ujian Nasional melalui SMS, mengagitasi siswa hingga tak peduli lagi kunci jawaban itu, valid atau tidak); hingga terhindar dari hal-hal yang keluar dari konteks ujian nasional (kasus sejumlah siswa yang melupakan persiapan belajar dan menggantinya dengan ritual doa dengan harapan bisa lulus ujian). Ah...ada-ada saja...

Pemerintah, lewat instansi terkait, boleh mempelajari sejumlah ketimpangan yang terjadi itu. Semua komponen masyarakat, yang merasa bertanggungjawab dengan pendidikan nasional—minimal peduli dengan pendidikan anak mereka—harus membantu dengan mengumpulkan data-data penting, dengan tujuan untuk mendorong pengembangan pendidikan nasional Indonesia agar lebih baik; sebuah pendidikan yang Indonesianis.

Bagi saya sih...pihak-pihak yang bertanggungjawab itu, mau me-revolusi sistem Ujian Nasional ini... Tapi itu sih..kalo mau saya. Mana saya tahu kalau mereka pun mau... Tetapi, omong-omong... Cobalah.

Ini usul saja... Kupingnya jangan ikut-ikutan merah loh yah....[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline