Lihat ke Halaman Asli

Ilham Pasawa

~Pecandu Kopi~

Aku Bertahan karena Kamu, Nak!

Diperbarui: 27 Mei 2021   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

seorang ibu menggendong anak

Bentala tak pernah mengeluh, meski rupa dan isi perutnya dikeruk setiap hari. Rambutnya yang hijau digunduli, diperkosa, diperas, dan diserakahi atas nama kemajuan dan perkembangan teknologi. Bahkan pagi ini, arunika yang muncul di ufuk timur sedikit membagi ceria dan membangkitkan eunoiaku. 

Di seberang rumahku, dari balik jendela terlihat orang-orang berlalu-lalang. Hanya beberapa yang saling sapa, selebihnya tampak teburu-buru, satu dua yang lain berjalan sambil memandangi arlojinya. 

Suara halus nan lembut mengajakku bermain, binar matanya menembus batinku, menyejukan sekujur tubuhku. Tangan mungilnya mengadah, memintaku untuk menimangnya. Wajahnya serupa dengan wajahku, begitu kata ibuku.

Dengan rasa sayang yang memuncak aku menimangnya, melagukan lagu-lagu yang menenangkannya. Suara tawanya yang khas membuat pagi ini menjadi lebih sejuk. Ah, benar-benar buah kasih yang mendamaikan.

Sementara, bapaknya si anak hanya sibuk meminum kopi yang kubuat. Hanya itu kegiatannya di pagi yang berulang. Terkadang aku merasa apakah ini ujian atas pernikahanku dan dia yang masih berusia muda. Pernikahan yang baru berjalan tiga tahun lamanya. 

Dahulu, kupikir pernikahan itu akan indah untuk dijalani, tetapi hayal tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Bukan berarti aku menafikan atau tak mempercayai hikmah-hikmah pernikahan yang luas dijelaskan di ayat-ayat dan Kalam keagamaan. Ini hanya seperti sebuah keluh kesahku saja sebagai seorang istri. 

Seorang wanita yang mesti berjuang menghidupi anakku yang sedang lucu-lucunya. Tetapi kenapa laki-laki itu, ia yang dahulu dengan gagahnya menyatakan siap menikahiku, menafkahiku seakan-akan lepas begitu saja, ia menikmati hidupnya sendiri, apakah ia lupa ada darah dagingnya yang mesti ia urusi dan nafkahi? Atau ini memang caranya mengelola rumah tangga, dengan bersikap santai begitu saja seperti seorang bujangan.

Si kecil akhirnya mengerti, pagi ini ibunya harus mendiamkannya di pembaringan, setidaknya sampai urusan rumah selesai. Memasak, menyapu, mencuci, dan menjemur pakaian. 

Si kecilku yang belum mengerti apa-apa, saat tidur wajahnya tetap menjadi semangat di pagi ini. Menjadi sinar di tengah gelap wajah bapaknya. 

Selepas urusan rumah selesai, aku harus segera berangkat ke sekolah, menuntaskan tugas sebagai pengajar. Di rumah aku mengurus anak sendiri, di sekolah aku mengurus anak orang lain. Tetapi bagaimana? Segelap apapun hatiku, mesti saja selalu aku menyembunyikannya. 

Di ruang guru, aku menyapa satu per satu pengajar yang lain. Seperti biasa, melempar basa-basi, ikut dalam perbincangan soal urusan dapur, mengomentari harga bahan dapur yang kian naik. Menggunjingkan murid-murid yang agak nakal dan susah diurus. Hal itu setidaknya dapat menenangkan sedikit gelap hatiku yang ku sembunyikan di lemari rumahku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline