Beberapa bulan kedepan Indonesia akan melakukan perhelatan pesta demokrasi. Kalau dengar kata pesta, yang terbesit adalah keceriaan dan kesenangan. Realitas berkata lain, mayoritas masyarakat justeru tidak merasakan kesenangan itu. Antusiasme untuk ikut pesta ini dari tahun ke tahun justeru terjadi tren penurunan, angka golput semakin meningkat, bahkan fatwa haram golputpun tidak mengurungkan niat banyaknya masyarakat untuk menarik diri dari pesta ini.
Berbeda dengan mayoritas masyarakat, para calon legislatif justeru semakin memperlihatkan antusiasme-nya. Yah, wajarlah, yang mau dipilihkan mereka, yang mau duduk manis goyang-goyangkan kaki terima duit kan mereka. Serangan spanduk dan baliho meramaikan sudut-sudut kota. Pohon-pohon juga tidak berdaya menghadapi hantaman paku baliho para caleg, pagar-pagar instansi pemerintah, instansi swasta bahkan rumah-rumah penduduk.
Sebagian dari anggota dewan sudah tidak bisa lagi untuk mencalonkan diri dengan berbagai sebab, bisa jadi karena korupsi atau perbuatan asusila. Mereka itu penyakit, seperti gangren yang mesti secepatnya diamputasi, diberi ruang lagi justeru bisa membunuh, mereka adalah sampah yang sudah tidak layak lagi muncul. Sepertihalnya popok yang sudah dipenuhi kotoran dan kencing, tiada kata lain selain melemparnya jauh-jauh, bahkan dikubur dalam-dalam, kemudian ganti dengan popok baru. Banyak yang mengatakan anggota dewan dan popok itu ada kemiripan, keduanya itu cepat atau lambat akan kotor dan segera terganti dengan yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H