Awal desember tahun 2013, kita dikagetkan dengan peristiwa kecelakaan Kereta KRL di Bintaro jakarta yang menyebabkan tujuh orang tewas. Selain itu, ada 60 orang yang dibawa ke rumah sakit akibat luka-luka setelah tabrakan yang juga melibatkan truk tangki pertamina. Kejadian ini kembali membuka luka lama bangsa Indonesia dengan kecelakaan kereta yang juga terjadi di Bintaro pada tahun 1987. Kecelakaan yang menewaskan 156 orang, 300 orang terluka dan pada saat itu dianggap sebagai musibah terkelam dalam dunia transportasi negara kita.
Pernahkah kita bertanya-tanya dalam hati, apa yang dilakukan oleh para korban tewas sesaat sebelum mereka mengalami kecelakaan? Yah, jawabannya mudah. Mereka melakukan hal yang seperti biasanya, bercerita, tidur, tertawa atau kegiatan biasa lainnya di kereta. Tak satupun dari mereka menyangka kalau ternyata beberapa saat kedepan, mereka akan kecelakaan dan meninggal. Tak ada yang tahu kalau ternyata hidup mereka tinggal hitungan menit. Harta, jabatan dan keluarga akan ditinggalkan. Bahkan jasad yang sejak lahir bersama dengan kita harus juga kita tanggalkan.
Saat inipun kita beraktivitas biasa sama seperti korban sebelum meninggalnya. Kita mungkin sementara makan, minum, bercanda atau kegiatan lainya padahal mungkin saja kematian kita juga sudah dekat. Tak perlu sakit untuk bertemu kematian, tak perlu menjadi orang tua renta, tak perlu bunuh diri, realitas telah berkata bahwa siapapun dan dalam keadaan apapun orang bisa saja meninggal. Tiada satupun yang tahu. Kenyataan ini kemudian membuat saya tersentak. Bagaimana jika salah satu korban kereta KRL yang kecelakaan itu adalah diri kita. Sebelumnya masih ketawa-ketawa bercanda dengan teman, tiba-tiba meninggalkan semua yang ada di dunia. Mau bawa apa ketemu Allah, Tuhan Pencipta alam semesta. Mau membawa pahala sholat yang kadang masih bolong? Mau bawa apa lagi, rasanya cuma ibadah itu yang rutin dilakukan. Mengaji sungguh Jarang, berpuasa jika ramadhan saja, Sholat sunnat rawatib kadang-kadang, sholat tahajjud apa lagi. Atau jangan-jangan bekal kita malah habis karena dosa yang menggerogoti. Malu rasanya bertemu dengan Allah dengan bekal seadanya seperti itu.
Kita masih hidup, masih sempat online di facebook. Masih diberikan kesempatan untuk mempersiapkan bekal. Tidak ada kata lain selain persiapkan bekal yang lebih banyak. Harus mulai memaksa diri tiap hari melakukan ibadah. Semuanya mesti dimulai dengan sebuah paksaan memang. Memaksa diri sholat sunnat rawatib, puasa senin – kamis, sholat tahajjud, tilawah Al Qur’an, bersedekah, berbuat baik kepada sesama dan kebaikan-kebaikan yang lain. Diri ini harus dipaksa untuk menjadi orang baik dan sholeh sebelum kita dipaksa untuk menghadap kepada Allah. Paksa diri untuk melakukan hal yang tidak biasa tentu sangat berat, tetapi kita tidak punya pilihan jika ingin punya bekal pahala yang banyak. Kita harus konsisten untuk memaksa diri. Bukankah paksaan yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan, dan kebiasaanlah yang lambat laun menjadi sebuah kebutuhan. Paksaan yang menjadi bekal akhirat dan membuat kita siap ketika tiba-tiba dipaksa menghadap kepadaNya.
(Saat ini saya dan istri saya memaksakan diri untuk rutin mengaji 1 juz perhari, dan itu bisa berkat dukungan dan motivasi dari teman2 lain yang juga tergabung dengan grup ODOJ One Day One Juz. Mudah-mudahan paksaan ini yang kemudian bisa menjadi kebiasaan rutin bagi saya. Hari ini saya mengajak teman-teman untuk bergabung juga di grup ini. Yang berminat silahkan sms 08118308233 dengan format: daftar#nama#jeniskelamin. Semoga Allah merahmati kita semua dan menjadi insan yang khusnul khotimah. Amin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H