Lihat ke Halaman Asli

Hentikan Upaya Politisasi Tempat Ibadah

Diperbarui: 28 Januari 2019   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber gambar: beritagar.id)

Seiring dekatnya perhelatan akbar Pemilu dan Pilpres yang dilaksanakan serentak pada April 2019, suhu politik makin memanas. Persaingan dan berbagai strategi tidak hanya terjadi di pusat keramaian seperti pasar, acara seminar, safari dan strategi lainnya, melainkan sudah masuk pada ranah tempat ibadah.

Tempat ibadah seperti masjid fungsi utamanya adalah untuk bersujud dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, direduksi menjadi sebuah upaya untuk menggiring massa agar mendukung calon dari golongan atau partai politik tertentu. Gerakan yang mengatasnamakan keagamaan di masjid semakin hari semakin tercium geliat politiknya. Artinya, ada kelompok tertentu yang dengan sengaja dan terencana memanfaatkan tempat ibadah seperti masjid untuk kepentingan politik jangka pendek.

Memang harus diakui bahwa politisasi tempat ibadah merupakan upaya yang efektif untuk mendulang suara. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa hal. Pertama, tempat ibadah seperti masjid merupakan tempat berkumpulnya umat di bawah kepemimpinan kyai atau ulama setempat. Setiap masjid tentu mempunyai jamaahnya sendiri. Para jamaah ini, lazimnya akan menuruti apa yang diinstruksikan oleh kyai yang bersangkutan. Dalam strategi kampanye, jamaah atau umat adalah segmentasi pemilih yang jelas.

Kita bisa bayangkan, jika ada politisi yang datang ke petinggi masjid untuk menawarkan khutbah rutin di suatu tempat, kiranya sangat sulit menolak iming -- iming tersebut. Fakta inilah yang terjadi di beberapa masjid. Kondisi seperti itulah yang memikat para politisi untuk sering mendekati takmir masjid, agar mendapat dukungan penuh dari para kyai, takmir dan jamaah.

Menteri Agama Lukman Hakim juga menghimbau agar melarang segala bentuk politik praktis di tempat ibadah, sebab hal tersebut akan memecah belah umat. Perkataan Lukman Hakim terkait ketentuan ceramah di seluruh rumah ibadah dikeluarkan untuk menghindari politisasi agama serta penyebaran nilai radikalisme yang marak terjadi di tanah air.

Selain itu banyak sekali informasi yang menerangkan bahwa telah terjadi, tempat ibadah yang digunakan oleh golongan tertentu untuk mengarahkan jamaah agar tidak memilih Caleg yang beragama non muslim. Kegiatan keagamaan di masjid merupakan ajang kampanye paling "murah" karena kelompok yang memiliki kepentingan politis tidak perlu bersusah -- payah untuk menggiring massa dengan iming -- iming amplop berisi lembaran rupiah, niscaya orang -- orang sudah banyak yang berbondong -- bondong ke masjid.

Masjid merupakan tempat yang mudah untuk mengondisikan umat. Jika sudah berkumpul dalam suatu masjid, maka untuk mengkondisikan atau mempengaruhi jamaah akan sangat mudah. Ironisnya upaya ini dibumbui dengan materi tentang ujaran kebencian, fitnah dan sejenisnya, maka umat tersebut akan semakin mengunggulkan calon yang ada di dalam lingkaran tersebut.

Untuk itu masjid haruslah netral, bukan berarti netral dalam konteks "anti politik", namun dimaksudkan untuk menghindari perpecahan. Sebab, fakta menunjukkan bahwa betapa mimbar khutbah, misalnya digunakan untuk menggiring Paslon tertentu. Kegiatan Ibadah seperti gerakan sholat subuh berjamaah juga disinyalir sebagai sarana politisasi yang menggiring opini publik untuk menyukseskan salah satu calon pemimpin. Tentu gerakan ibadah ini juga harus senantiasa diniati secara tulus dan tidak dipolitisasi oleh kelompok maupun golongan tertentu, karena upaya politisasi di tempat ibadah justru dapat memecah belah umat, hal ini dikarenakan jamaah yang berada di masjid memiliki pandangan politik yang berbeda.

Indikator akan adanya upaya politisasi pada gerakan sholat shubuh berjamaah bisa dilihat dari isi ceramahnya, baik kultum maupun khutbah yang menggiring opini publik pada kepentingan politik tertentu. Jika hal ini terus dibiarkan maka masjid akan kehilangan identitasnya sebagai rumah ibadah dan tempat untuk berkomunikasi secara spiritual dengan Tuhan.

Dalam kajiannya, Azumardi Azra menegaskan bahwa politik lazimnya bersifat divisif -- cenderung memecah belah. Kepentingan politik tak bisa membuat orang dan kelompok bersifat partisan. Contoh kasus politisasi tempat ibadah adalah kasus Eggi Sudjana yang baru saja resmi menjadi Caleg. Dirinya juga melakukan ceramah di salah satu masjid, dimana pihaknya menyinggung bahwa buruknya pengelolaan sumber daya alam di era Jokowi. Pihaknya juga menyebutkan bahwa dirinya turut membuat dukungan gerakan ganti presiden 2019.

Masyarakat diimbau bahwa jika masjid dijadikan ladang untuk meluluskan kepentingan politik sekelompok orang dengan cara menjual simbol dan slogan agama, maka harus diingatkan atau bahkan ditinggalkan. Pada akhirnya, semua elemen masyarakat, dari  orang awam, tokoh agama hingga para elit politik harus saling bekerja sama untuk mengembalikan fungsi masjid secara utuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline