Lihat ke Halaman Asli

Pahlawan di Selembar Kertas

Diperbarui: 5 Januari 2020   05:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

images from news.rakyatku.com

Malam telah hilang. Tidak ada keramaian yang menghantarnya pulang. Hanya angin malam musim penghujan yang menemaninya, menggiring pertemuan dengan Tuhannya bersama dosa-dosa yang telah ditebusnya dengan aliran darah yang mengucur hebat dari urat lehernya.

Purnama bersembunyi di balik awan hitam pekat sedari tadi. Seakan enggan menjadi saksi. Gagak bertengger di atas pohon akasia tempat ia bersandar. Bersimpuh malu pada kenangan masa lalu.

Gagak berkoak memanggil kawanannya. Bahwa selesai sudah takdir Purnawan di malam ini. Telah datang segerombol kawanan gagak berkerubung bersama jasadnya di saat rona putih menguntit di ufuk timur. Tetapi tidak ada cahaya yang terlihat di sana. Hanya kejam dendam yang terbalaskan dengan rintik hujan yang akhirnya datang menjemput ajalnya.

***

Sepuluh tahun yang lalu.

Sepulang dari surau aku melipir ke warung mbah Darjo untuk menarik bayaran kerupuk ibu yang setiap pagi biasa dititipkannya. Mbah Darjo mengambilkan untukku beberapa lembar 'foto pahlawan bersenjatakan pedang', menambahkan gorengan tempe dan memintaku duduk sebentar di kursi warungnya.

"Duduk sebentar Nak, aku segera menutup warungku." ucap Mbah Darjo. Aku hanya menganggukkan kepala dan menghabiskan tempe dingin yang diberikannya. Meraba kantong bajuku sebentar dan bergumam, "Mbah Pattimura, akulah yang menjagamu disini," seraya mengelus-elus dadaku. "Mereka yang menginginkanmu pun akan takut dengan pedangmu, begitulah timbal balikmu untuk menjagaku." pikirku seraya tersenyum polos.

Mbah Darjo mengantarkanku hingga gang rumahku. Aku masih memikirkan Pahlawanku. Sepanjang perjalanan pulang aku diceritakannya tentang pahlawan itu, senjata pedangnya dan kisah-kisah heroik perjuangan bangsa kita melawan penjajahan.

Aku tidak mengenal penjajahan, yang aku tau hanyalah jika keranjang kerupukku masih tersisa berarti besok pagi laukku adalah air putih bercampur garam--tentu aku tak senang itu; Sesampainya di depan pintu rumah aku mengangkat setengah tanganku yang membawa keranjang itu dan berkhayal bahwa yang kuangkat adalah pedang yang tajam dan gagah--senjataku melawan hidup; Tidak, keranjang tidak bisa membunuh seorang pun!

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline