Aku sudah berdiskusi panjang lebar dengan istriku. Bahwa kami tak akan mengadakan hajatan saat Amar khitan. Amar, anakku yang pertama memang sebentar lagi dikhitan.
Ya, kami memutuskan tak hajatan karena memang uang kami tipis. Lagian, kami juga tak mau berutang untuk hajatan. Kami tahu diri bahwa utang itu hanya akan menyulitkan.
Aku sudah bilang ke Amar secara baik-baik. Ya mungkin aku bukan ayah yang istimewa karena untuk mengadakan hajatan pun tak mampu.
Kadang aku merasa teriris melihat Amar khitan tanpa hajatan, tanpa perayaan. Tapi, ya bagaimana lagi.
Aku bersyukur Amar mau menerimanya. Dia bilang, tak masalah tak ada hajatan. Amar anak yang paham bapaknya tak mampu cari duit yang banyak.
Satu per satu orang bertanya tentang khitanan Amar. Aku dan istriku tentu saja bicara apa adanya. Bahwa Amar akan khitan dan tak ada hajatan.
Sejak kabar tak ada hajatan itu mencuat, satu per satu kata-kata miring menerpa telingaku. "Khitan kok ngga ada hajatan. Pelit kali," ada yang bilang begitu.
"Apa ngga kasihan sama anak. Melihat teman yang lain ngadakan hajatan, ini khitan malah sepi-sepi saja," ada yang bilang begitu.
Aku tentu saja punya perasaan. Aku merasa sangat bersalah. Sebab tak mampu jadi ayah yang istimewa. Istriku? Ah entahlah apa yang sedang berkecamuk di hatinya.
Malam itu, sepekan sebelum Amar khitan, aku berbisik ke telinga istriku. Air mataku mengalir. "Maaf..." Kataku ingin menegaskan bahwa aku bukan ayah yang istimewa.
Istriku hanya mengangguk, lalu memelukku erat.