Markum dan istrinya tetiba mendapati dua telur emas di samping rumah reot mereka saat pagi baru saja tiba. Mereka langsung berpikiran bahwa telur emas itu dari ayam yang beberapa hari mengeram diam di samping rumah.
Markum mengambil dua telur emas itu. Beratnya tak sama dengan telur biasa. Dan memang itu adalah telur emas. Jika dijual bisa membangun rumah mereka yang tak layak dan membesarkan anak tunggal mereka dengan gizi yang memadai. Razi, anak mereka, masih setahun dan badannya rapuh.
Sejoli yang masih muda itu, punya pikiran yang sama. Mereka berbicara secara bersama, dengan kata yang sama, sembari bertatap mata.
"Ini bukan milik kita," kata keduanya bersamaan.
Ya, karena ayam betina yang diduga mengeluarkan telur emas itu, memang bukan ayam mereka. Entah ayam siapa yang sudah beberapa hari nongkrong di samping rumah.
Akhirnya Markum dan istrinya bersepakat telur ayam diserahkan ke desa. Keduanya, menjelang siang menuju balai desa, bertemu dengan kepala desa dan para perangkatnya.
Keduanya menyerahkan telur emas itu untuk jadi milik desa. "Silakan saja mau diapakan terserah bapak-bapak. Yang pasti itu bukan telur kami," kata Markum.
Misdi, salah satu perangkat desa mengusulkan agar telur itu diberikan pada yang punya. Yang punya adalah yang memiliki ayam yang mengeram di samping rumah Markum.
Tanpa aba-aba, Misdi memburu saudaranya yang rumahnya tak jauh dari Markum. Secepat kilat Misdi mendatangkan saudaranya bernama Manan.
Keduanya ke balai desa dan Manan bilang bahwa sudah dua hari kehilangan ayam betinanya. Manan mengiyakan ketika Markum memberi ciri-ciri ayam betina itu.