Pilkada Jawa Tengah (Jateng) 2018 memunculkan fenomena baru. Setelah dua pilkada sebelumnya PDIP percaya diri dengan mengusung calon nasionalis+nasionalis, maka di Pilkada 2018, PDIP mengusung nasionalis+agamis. Bagaimana dengan Pilkada Jateng 2024 nanti? Kita lihat saja ya.
Menengok ke 2008 dan 2013, calon PDIP di Pilkada Jateng adalah kombinasi nasionalis+nasionalis. Di Pilkada Jateng 2008, PDIP mengusung Bibit Waluyo-Rustriningsih. Di Pilkada Jateng 2013, PDIP mengusung Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko. Sementara, hal berbeda terjadi di Pilkada 2018. PDIP memutuskan mengusung Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maemon. Taj Yasin adalah putra dari ulama kharismatik KH Maemun Zubair yang kini telah tiada. Taj Yasin merepresentasikan santri dan juga kelompok agamis.
Mengapa PDIP bisa berubah begitu? Saya hanya menduga saja. Jadi, itu adalah efek dari Pilkada DKI Jakarta setahun sebelumnya. Pembelahan terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. PDIP dengan Ahoknya, menjadi musuh bagi sang lawan yang dipersepsikan sebagai kelompok "agamis". Di Pilkada 2017, PDIP kalah.
Kemenangan di Jakarta sepertinya ingin dicopy-paste oleh kelompok pengusung Anies Baswedan untuk Pilkada lainnya. Saat Pilkada Jateng 2018, sosok yang muncul dari kelompok pengusung Anies adalah Sudirman Said. Sudirman Said diusung oleh Gerindra dan PKS, dua parpol yang mengusung Anies di Jakarta.
Kala itu, Sudirman digadang akan menggandeng salah satu putra KH Maemun Zubair yakni Abdul Ghofur Maemun yang merupakan kakak dari Taj Yasin. Tapi, kabar yang beredar, Sudirman kalah cepat dengan Ganjar. Sehingga, Ganjar mampu menggandeng Taj Yasin.
Pada akhirnya, Sudirman Said menggandeng Ida Fauziyah. Ida adalah politikus PKB yang ada di DPR RI. Ida sebenarnya bukan orang Jawa Tengah, tapi Jawa Timur. Mungkin karena dia representasi dari agamis dan PKB, kemudian digandeng Sudirman.
Perlu diketahui, PKB memiliki suara yang cukup bagus di Jawa Tengah. Di Pemilu 2014 atau empat tahun sebelum Pilkada 2018, PKB ada di posisi tiga di Jawa Tengah di bawah PDIP dan Golkar. Maka, menggandeng Ida sepertinya adalah cara bagi Sudirman untuk menggaet suara kalangan Islam tradisional di Jawa Tengah.
Setelah pencalonan, survei pada Sudirman-Ida, sangat rendah. Keterpilihan pasangan itu hanya di kisaran 10 sampai 15 persen. Tentu saja, sang petahana di atas angin. Tapi, cara-cara di Jakarta coba untuk diaplikasikan di Jawa Tengah.
Salah satu yang jadi senjata Sudirman untuk menyerang Ganjar adalah program kartu tani. Progam itu oleh Sudirman dinilai gagal dan menyusahkan. Hari demi hari, tingkat keterpilihan Sudirman-Ida makin membengkak.
Pada akhirnya, Ganjar memang tetap menang. Tapi tengoklah suara yang diraup Sudirman-Ida di Pilkada 2018, mereka mendapatkan 41 persen. Melesat jauh daripada saat awal pencalonan.