Saya bisa membayangkan, bagaimana hancurnya diri, perasaan, pikiran ketika pemain Brasil kalah di adu penalti. Sebab, saya pun pernah merasakannya. Sekalipun hanya level sekolah. Jika level sekolah saja hancur rasanya, apalagi level negara, pasti lebih mengguncangkan.
Saya tentu bukan pemain sepak bola profesional. Hanya main sepak bola di sekolah. Dulu, lebih dari 20 tahun lalu di sekolahku selalu ada turnamen sepak bola, jelang akhir tahun ajaran.
Jadi, 16 tim bertarung dengan skema mirip Euro tahun 1996-2012. Tentu setiap kelas ingin juara. Di tahun pertama, impianku gagal total. Kelasku jadi lumbung gol. Tak terlalu kecewa karena memang kelas 1 ku tak memiliki skuad yang bagus.
Di kelas 2 harapan menjadi juara terbuka lebar. Skuad kelasku lumayan bagus, walau tak istimewa. Di babak grup laga terakhir, timku bertarung dengan salah satu kelas 1 yang diunggulkan.
Drama terjadi karena wasitnya adalah anak dari grup sebelah yang diduga ingin menghindari salah satu kelas 1 yang diunggulkan itu. Kami kalah dan hanya jadi runner up grup.
Kami pun lawan tim kuat di perempat final. Tak ada yang menjagokan tim kami. Saat itu lapangan becek dan jadi berkah.
Lawan kami tak bisa menunjukkan teknik bermainnya. Semangat membabi buta juga membuat kami memiliki beberapa kesempatan mencetak gol.
Aku masih ingat, punya peluang bikin gol saat itu. Tinggal berhadapan dengan kiper. Tapi bola lemah meluncur karena terkena genangan air. Waktu itu posisi mainku adalah di belakang dua striker.
Pada akhirnya kami menang 2-1. Esok harinya saat sekolah, kami riang gembira. Sementara lawan kami yang kelasnya di depan kelas kami, lemah lunglai. Guru wali kelas kami memuji habis-habisan kiper kami. Kiper yang tinggi yang sebenarnya lebih suka main bola voli.
Kiper yang mendadak kami dapatkan di laga kedua. Anaknya tinggi dan tak suka sepak bola. Sama sekali tak suka sepak bola, sukanya main voli. Tapi kami bujuk dia. Eh, malah lumayan bagus. Sampai wali kelas kami yang sering support di tepi lapangan, memujinya.