Penentuan zonasi dalam penerimaan siswa baru adalah kebijakan yang baik. Tapi kebijakan ini sulit dilaksanakan secara menyeluruh di Indonesia karena perbedaan fasilitas.
Zonasi sepemahaman saya adalah agar anak bersekolah ke sekolah yang terdekat. Tentunya yang diatur dalam zonasi adalah sekolah negeri, bukan swasta. Jika anak sekolah ke sekolah yang terdekat, maka ada pemerataan peserta didik.
Pemerataan peserta didik adalah bahwa antara satu sekolah dengan lainnya memiliki jumlah siswa yang diprediksi sama. Jadi, tak ada sekolah negeri yang favorit dan sekolah negeri yang miskin peserta didik. Niatnya tentu saja bagus.
Tapi, kebijakan zonasi hanya bisa berjalan pada wilayah yang memiliki jumlah sekolah negeri yang memadai sesuai dengan jumlah calon siswanya. Kebijakan zonasi bisa berjalan jika fasilitas antarsekolah negeri tidak jomplang.
Di sisi lain, zonasi membuat sekolah swasta memiliki anak didik. Mereka yang sekolah di swasta adalah siswa yang tak bisa masuk sekolah negeri karena zonasi. Tapi sekali lagi, sekolah swasta di daerah itu juga memadai dengan fasilitas yang memadai.
Intinya, zonasi itu adalah kebijakan yang cocok di kota besar yang memiliki jumlah sekolah yang memadai. Sekolah negeri yang jumlah dan fasilitasnya memadai serta sekolah swasta yang jumlah dan fasilitasnya memadai.
Bagaimana dengan kecamatan yang miskin jumlah sekolah negeri? Ya fenomena itu terjadi untuk sekolah level SMA. Sebagai contoh saja yang saya tahu adalah Kecamatan Sigaluh di Kabupaten Banjarnegara . Di kecamatan itu hanya ada satu SMA negeri. Satu kecamatan memiliki satu SMA negeri.
Pertanyaannya, adakah kecamatan lain yang hanya memiliki satu SMA negeri? Jika ada, biasanya di kecamatan yang bukan pusat kota. Persoalannya adalah, bagaimana anak yang banyak se kecamatan hanya tertampung di satu sekolahan? Tentu tak mungkin terjadi.
Maka, mereka harus ke sekolah swasta. Persoalan akan makin rumit jika sekolah swasta ternyata jaraknya jauh. Siswa harus ke sekolah swasta naik angkutan. Nah, fenomena angkutan di desa-desa sudah tidak massif. Sudah jarang angkutan karena sudah tidak terlalu menghasilkan.
Maka, sebuah keluarga harus memiliki kendaraan sendiri agar si anak bisa sekolah. Belum lagi jika, maaf, sekolah swastanya fasilitasnya tak memadai. Menjadi problem yang besar ketika fasilitas sekolah tak memadai.
Pandangan