Aku pernah beberapa tahun hidup di ibu kota. Waktu itu, aku merasa tak ada pilihan selain di ibu kota.
Cerita bermula setelah aku selesai menamatkan pendidikan. Tak ada modal koneksi, tak ada modal uang, tak ada modal darah biru. Aku adalah seumum-umumnya manusia Indonesia.
Aku hidup di Jawa Tengah kala itu. Lepas pendidikan, tentu buat lamaran ke sana ke mari. Ada diterima bekerja, tapi tak ada gaji. Upah akan aku dapatkan jika bisa menjual barang. Aku dapat persentasenya.
Repot bukan kepalang. Pulang pergi naik bus saja Rp10 ribu. Lalu tidak dapat gaji. Mendapatkan pelanggan pun tentu kerepotan karena mobilitas rendah sebab tak punya motor. Aku memilih tak melanjutkan.
Kemudian, ada juga peluang jadi manajer perusahaan sepatu. Lamaran aku berikan sembari bingung karena yang kudatangi tak serupa kantor.
Aku diterima kerja tapi sebagai sales. Kata pewawancara, aku bisa jadi manajer setelahnya. "Dasar pembohong. Di iklan bilang butuh manajer, nyatanya dijadikan sales," batinku waktu itu. Aku tak mau dibohongi berkali kali.
Dunia kerja di daerah waktu itu sangat sempit. Itu yang aku rasakan. Sebagai wong cilik yang tak punya kuasa, maka memang susah cari kerja. Pernah mencoba cari peruntungan melalui parpol. Ada lowongan katanya.
Tapi sama saja. Tak ada koneksi, datang tak dijemput, pulang tak diantar. Merasakan bagaimana dianggap sebagai orang yang tak diperlukan.
Sekali lagi, tak ada gambaran pekerjaan. Remang ceritanya. Gelap tak terkira.
Sampai kemudian, aku memutuskan mengadu nasib di ibu kota. Tertatih tatih dan kemudian bisa hidup di ibu kota. Aku merasa, pekerja lebih dihargai di ibu kota. Itu tentu berdasarkan pengalamanku. Jika pengalamanmu beda, ya kesimpulannya beda.