Hajatan yang berisik dan jalan yang ditutup. Fenomena yang sering aku lihat, bahkan aku alami sendiri.
Dulu, saat anakku masih berumur kurang dari dua pekan, tetangga mengadakan hajatan. Yang pasti hajatannya ramai karena nanggap wayang.
Saya paham bahwa nanggap wayang itu sudah disiapkan jauh hari. Bahkan sudah dikhayalkan jauh jauh bulan. Sebab, saya juga tahu bahwa si tetangga punya niat akan nanggap wayang jika anak pertamanya menikah.
Di sisi lain, istriku sudah bingung bukan kepalang. Maklum saja, anakku belum berumur dua pekan. Istriku takut anak kami tak bisa tidur dan terganggu. Padahal, anak bayi butuh tidur lama.
Atas kekhawatiran itu, salah satu opsi yang sempat muncul adalah membawa anak ke rumah saudara yang berbeda desa, di malam pertunjukan wayang.
Tapi, niat membawa anak ke saudara beda desa itu urung kami lakukan. Aku lupa alasannya. Tapi mungkin karena kami juga tak mau merepotkan orang lain waktu itu.
Pada akhirnya, kami berusaha menidurkan anak setelah Maghrib. Tentu berharap agar anak kami tidur sebelum keramaian terjadi. Pada akhirnya memang anakku tidur awal. Sampai pagi tak terjadi seperti yang dikhawatirkan.
Anakku tidur dan orang orang ramai bahagia nonton wayang. Sebuah keberuntungan!
***
Aku punya cerita hidup tentang kebisingan, khususnya malam hari. Kebisingan adalah hal biasa. Sejak kecil, aku hidup di lingkungan yang tak jauh dari jalur sibuk pantura.
Maka, suara mobil, bus, dan truk malam jadi penghias malam-malamku. Aku pun tetap tidur lelap. Suara hajatan atau sejenisnya yang menggunakan pengeras suara di malam hari pun, tak terlalu bermasalah bagiku.