Ini tulisan tentang sesuatu yang dirindukan, tapi ketika yang dirindukan datang malah biasa saja. Bisa jadi sikap ini merasukiku, merasukimu, dan merasuki kita. Harapannya, semoga kita menjadi lebih baik.
Aku mulai tentang cerita diri. Pada satu masa, setiap Maghrib, aku selalu berada di tempat tinggi. Aku memandang langit, gedung, dan bahkan gunung.
Di masa itu, suara azan bersahutan. Dalam hati, aku selalu merindukan, mengalami masa Maghrib di surau, musala, atau masjid. Bukan melewatkan Maghrib di ketinggian karena pekerjaan.
Di masa-masa itu, setiap Maghrib adalah rindu. Namun, saat aku memiliki kesempatan bermaghrib di surau, kadang malah aku lewatkan. Rindu yang menggebu itu kadang sirna entah kemana.
Cerita kedua, soal Covid-19. Ada banyak rindu menyambangi masjid kala itu. Ada banyak rindu menyambangi musala. Bahkan, narasi "menyingkirkan agama" disuarakan.
Teriak kencang agar bisa berada di masjid dan musala. Tapi kemudian, ketika kelonggaran itu akhirnya diberikan, ada cerita masjid dan musala tetap biasa saja pengunjungnya.
Mereka yang menyambangi masjid dan musala, adalah mereka yang tidak pernah berteriak rindu. Begitulah ceritanya. Mereka yang menyambangi masjid dan musala adalah mereka yang selalu menghidupkan tempat ibadah sebelum ada corona.
Sama juga dengan Ramadan. Banyak yang rindu ketika Ramadan pergi. Sebentar lagi Ramadan juga pergi. Tapi, ketika kemudian Ramadan datang kembali, sebagian kita malah biasa saja.
Aku, mungkin juga kamu, dan kita, sepertinya perlu kembali merenung. Merenung tentang kesempatan dan kesempatan. Rindu itu akan semu jika kita tak menyelami ketika yang telah kita rindukan datang.
Tumpukan doa tentang rindu, tak akan ada artinya ketika kita hanya biasa saja saat yang kita rindukan datang. So, masih ada waktu, sebentar saja di akhir Ramadan. Mari manfaatkan untuk kebaikan kita, sesama, dan semesta.