Lihat ke Halaman Asli

rokhman

TERVERIFIKASI

Kulo Nderek Mawon, Gusti

Kenapa Memburu Layang-Layang Putus?

Diperbarui: 13 Maret 2021   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. foto kompas.com/dhanang david aritonang

Dahulu, saat saya masih kecil, memburu layang-layang putus adalah hobi. Saya dan teman-teman berlarian tak keruan. Yang mengkhawatirkan banyak orang adalah, kami anak kecil, berlari kencang sembari mendongakkan kepala. Sebab, dengan mendongakkan kepala, kami tahu ke arah mana layang-layang akan jatuh.

Tak sedikit dari yang khawatir itu menyuarakan pandangannya. Kadang dengan nada jengkel. "Layang-layang kan bisa dibeli, apalagi murah. Kenapa harus berlarian memburu layangan putus," kira-kira begitu kata mereka yang jengkel.

Tak salah jika ada orang yang jengkel dengan cara anak-anak dahulu mendapatkan layang-layang. Tak salah karena yang jengkel itu juga mengkhawatirkan keselamatan kami. Mereka juga mengkhawatirkan pengendara yang bisa kesulitan melaju ketika ada sekelompok anak berlarian di jalan untuk memburu layang-layang.

Saat masih kecil, ada konsepsi dari kami. Memburu layang-layang yang putus itu adalah sebuah kepuasan luar biasa. Ada kompetisi di situ. Ada juga melatih kecepatan, kecermatan, dan menebak ketidakpastian.

Jika layang-layang bergerak tak cepat setelah putus, itu berarti angin memang tak kencang. Imbasnya, harus sabar mendeteksi ke arah mana layang-layang akan jatuh. Jika angin bertiup kencang, maka layang-layang akan cepat jatuh dan kami harus cepat berlari.

Mereka yang berkompetisi fair, akan menerima jika layang-layang putus dan jatuh itu didapatkan satu orang anak. Anak yang lain akan menerima. Tapi bagi mereka yang tak fair, ketika layang-layang baru saja diraih satu tangan, langsung direbut dan dirobek.

Aku tentu saja pernah mendapatkan layang-layang putus. Kala itu, mendapatkannya ketika layang-layang jatuh di belakang rumah. Areanya tentu hanya aku yang paham, sementara teman-teman tak terlalu paham.

Ini soal cara pandang anak kecil, yang tentu saja ada baiknya. Tapi, mereka yang memprotes cara anak-anak berburu layangan yang membahayakan nyawa itu juga ada benarnya. Orang tua yang khawatir pada anak-anak yang berlarian tak keruan memburu layang-layang juga ada benarnya. Ada dialektika di situ. Dialektika soal realitas layang-layang. Ya begitulah.

Kini, sepertinya tak muncul secara masif dialektika itu. Kenapa? Lha, lihat anak bermain layang-layang saja sudah jarang. Apalagi sampai berlarian memburu layang-layang putus. Jadi, orang tua tak perlu sibuk khawatir anak-anak lari kencang sambil mendongakkan kepala melihat layang-layang. Baikkah kondisi sekarang daripada dahulu? Ah aku tak mau menjawabnya, biarkan kita memiliki kesimpulan sendiri-sendiri untuk kebaikan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline