Kebijakan mungkin tak akan berubah, tapi wacana yang tertulis di banyak tempat atau diskusi yang terekam akan memberi pandangan pada peradaban kita. Peradaban yang kita harapkan bermanfaat bagi anak cucu kita.
Pengesahan UU Cipta Kerja saya kira adalah terjangan gelombang besar ketiga dalam satu tahun pemerintahan Jokowi di periode kedua ini. Gelombang pertama terjadi saat penolakan revisi UU KPK. Tapi, seperti diketahui revisi yang ditolak oleh banyak elemen itu akhirnya bisa melenggang.
Revisi itu sebelumnya dimaknai sebagai usaha pelemahan KPK. Di masa sekarang ini, saya pikir dugaan pelemahan seperti menemui konfirmasinya. KPK belakangan ini tak bertaji dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, mereka terkesan ribut sendiri di dalam. Hal itu pernah saya tulis di Kompasiana dan bisa dibaca di sini.
Gelombang pertama itu bisa dikatakan dimenangkan pemerintah. Desakan yang begitu kuat saat itu untuk membatalkan revisi UU KPK, tak menemui jalannya.
Gelombang kedua adalah pandemi Covid-19. Kalau pandemi ini memang bukan hanya gelombang serangan bagi pemerintahan Indonesia saja. Hampir semua pemerintahan di dunia dibuat repot oleh pandemi yang tak kunjung usai ini.
Pandemi ini bukan persoalan pemerintah melawan rakyat, tapi pemerintah melawan pandemi. Jika pun akhirnya ada beda pendapat pemerintah dengan rakyat dalam penanganan pandemi, saya pikir itu adalah imbas dari pandemi dan kebijakan pemerintah terhadap pandemi.
Sampai Selasa (6/10/2020), ada 311.176 orang di Indonesia yang positif Covid-19. Kemudian, ada 11.374 yang meninggal karena Covid-19. Adapun yang sembuh dari Covid-19 ada 236.437. Covid-19 seperti mesin pembunuh di banyak negara, termasuk Indonesia.
Saya menilai jika Covid-19 belum dituntaskan, gelombang keruwetan akan menghujam pemerintah dan efeknya pada masyarakat Indonesia. Jika gelombang pertama terjadi kisaran satu atau dua bulan, gelombang kedua ini sudah lebih dari enam bulan.
Kini, gelombang ketiga itu adalah pengesahan UU Cipta Kerja. UU ini diserang banyak pihak karena tidak berpihak pada buruh. Beberapa poin yang disorot misalnya soal potensi jadi pekerja kontrak abadi, rawan PHK, cuti panjang, dan masih banyak lagi.
Gelombang ketiga ini cukup besar. Pertama tentu dari para buruh yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Kedua dari orang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk kepentingan tertentu. Ketiga mereka yang netral dan melihat buruh dalam posisi yang sangat terjepit dengan adanya UU itu.
Salah satu orang netral yang saya baca komentarnya pagi ini adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Dia mengajak publik untuk teriak bersama tolak Omnibus Law yang di dalamnya ada UU Cipta Kerja itu.