Di teras, aku memilih agak menjauh. Aku tak terlalu ingin kumpul dengan tiga lelaki itu. Mereka adalah Bagus, Budi, dan Timan. Ketiganya, duduk melingkar mengepung meja dengan hiasan satu buah gelas besar. Aku tak terlalu mau dekat dengan mereka. Aku hanya mau mendengarkan saja apa perbincangan mereka.
"Kemarin ada orang yang memberi petuah malah ditusuk," kata Bagus mengawali pembicaraan.
"Yang menusuk pasti orang gila," timpal Budi.
"Harus tidak orang gila. Masak kalau ada kasus kekerasan seperti itu, pelakunya orang gila?" kata Bagus.
"Ya pasti orang gila. Orang waras mana yang mau menusuk orang lain," kata Budi meninggi.
"Sruput kopinya dulu bro," sela Timan sembari mengambil gelas yang ada di depan mereka.
Timan setia memegang telepon genggamnya. Tapi aku juga heran, mengapa ada suara telepon genggam, yang suaranya bergetar dan poliponik. Padahal, telepon genggam yang dibawa Timan adalah android.
"Dulu Monica Sales itu ditusuk waktu main tenis. Toh yang menusuk bukan orang gila," kata Bagus.
"Yang bener Monica Seles, bro," timpal Timan.
"Ya gila lah. Masak orang main tenis ditusuk. Orang waras mana yang mau menusuk orang main tenis," kata Budi makin meninggi.
"Kamu kok selalu bilang gila-gila sih. Faktanya tak selalu gila," kata Bagus ikutan meninggi. Bagus sepertinya tak terima kalau terus dibantah Budi. Tangan Bagus menggebrak meja. Dia mengacungkan jari ke wajah Budi.