Lihat ke Halaman Asli

rokhman

TERVERIFIKASI

Kulo Nderek Mawon, Gusti

Dulu Tempat Ibadah, Kini Sekolah Diposisikan sebagai "Korban"

Diperbarui: 21 Juli 2020   15:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. foto: antara foto/adeng bustomi dipublikasikan Kompas.com

Mungkin ini narasi yang menggejala di negeri ini. Narasi ada yang menindas dan ada yang ditindas. Narasi ada pelaku dan ada korban. Pandemi, kemudian menjadi arena yang juga tak jauh dari narasi pelaku dan korban. Jika dulu yang dinarasikan sebagai korban adalah tempat ibadah, kini yang dinarasikan sebagai korban adalah sekolah.

Beberapa waktu lalu, kala pandemi awal menggejala, suasana riuh sempat terjadi. Kala itu, sebagian pihak menilai tempat ibadah sebagai korban ketidaktepatan kebijakan. Narasi yang dimunculkan adalah pasar tetap buka, tapi tempat ibadah ditutup.

Narasinya kemudian mengarah ke pemerintah bahwa ada upaya pemerintah untuk menjauhkan umat dengan tempat ibadah. Repot kalau sudah seperti itu. Pernyataan seperti itu massif diungkapkan di masa itu. 

Bahkan, mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo pun termasuk dalam barisan agar warga tetap beribadah di tempat ibadah, lebih khususnya masjid, sekalipun pandemi.

Kemudian, apa yang terjadi setelahnya. Ketika ada relaksasi, tempat ibadah pun dibuka. Ada yang berkomentar di twitter. Saya lupa siapa yang berkomentar. Intinya mengatakan, dulu minta tempat ibadah dibuka, kini setelah dibuka hanya sedikit yang ke tempat ibadah.

Saya tak terlalu tahu kebenaran pernyataan di twitter itu. Namun, saya memiliki padanan cerita, khusus soal musala. Satu ketika ada panitia pembangunan musala. Seperti biasa memberi kesempatan warga untuk berderma untuk pembangunan musala.

Selang beberapa waktu saya kembali bertemu dengan salah satu panitia pembangunan musala. Saya pun bertanya, bagaimana pendanaannya? Panitia ini pun menjawab. 

"Kalau membangun musala itu gampang. Yang sulit kan mengisi musala," katanya. Maksud dari pernyataan itu adalah bahwa membangun musala adalah perkara yang cukup mudah di tempat yang mayoritas muslim. Pendanaan pun tak terlalu sulit. Namun, yang sulit adalah setelah musala itu jadi, berapa yang mau menginjakkan kaki ke musala untuk  berjamaah.

Kembali ke komentar netizen soal tempat ibadah. Bisa jadi benar jika dulu meminta tempat ibadah dibuka, saat dibuka tetap saja tak banyak yang ke tempat ibadah. Itu adalah narasi yang terjadi beberapa bulan yang lalu.

Kini, narasi mirip pun berkembang. Pagi tadi, saya mendapatkan informasi atau pendapat orangtua murid. "Mal saja sudah dibuka, semua sudah dibuka. Masak sekolah belum juga dibuka,"  kata seorang orangtua murid.

Coba tengok, narasinya pun sama dengan narasi tempat ibadah. Bedanya, kalau soal tempat ibadah sudah ada narasi pemerintah tak pro pada keagamaan, tapi kalau untuk sekolah saya belum dengar ada narasi pemerintah tak pro pada pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline