Belum lama ini saya melihat berita di televise dan membaca di media online soal warga Jakarta yang melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Warga yang perempuan itu kedapatan tak menggunakan masker. Akhirnya dia diberi opsi oleh petugas.
Opsi pertama adalah membayar denda Rp 250 ribu. Opsi kedua adalah menyapu jalan. Si wanita ini kemudian memilih menyapu jalan. Namun, saat menyapu jalan, si wanita itu terlihat tak perform. Si wanita itu terlihat jijik saat menyapu.
Bahkan, saat menyapu dirinya pun mengakui bahwa tak pernah menyapu. "Tapi beliau kayaknya tidak pernah nyapu di rumahnya. Kita ajarin nyapu biar jangan seperti main-main, tp emang mungkin udah gaya orangnya begitu,ya udah kita awasi saja," kata Kasie Operasional Satpol PP Jakarta Barat, Ivand Sigiro.
Bagi orang kota yang kaya, bukan hal aneh jika ada wanita yang tak biasa menyapu. Sebab, kerjaan domestik di rumah sudah ada yang menjalankannya. Wanita kaya yang tak pernah menyapu, cukup bersolek dan memikirkan yang lain saja. Misalnya, punya cita cita untuk memberli tas kresek, eh maaf tas hermes maksudnya. Tas yang mahal itu.
Namun, selama hidup di desa saya memang jarang melihat wanita yang tak bisa menyapu. Yang saya tahu, wanita bukan hanya bisa menyapu tapi juga bisa memasak. Bahkan, pekerjaan berat seperti ikut bertani di sawah pun dilakukan.
Ya tidak apa-apa jika ada wanita yang memilih tak mau menyapu. Namun, satu ketika nanti bisa jadi kejijikan akan sering ditemui oleh wanita. Misalnya begini saja, jika wanita yang ibu ibu itu memiliki anak, bagaimana jika anaknya buang air besar (BAB)? Tentu harus mengurusnya.
Bahkan, mengurus anak yang BAB tidak bisa dilakukan seenaknya. Sebab, akan berpengaruh terhadap kesehatan dan kebersihan anak. Okelah jika memang ada asisten rumah tangga di rumah. Tapi, bagaimana jika asisten rumah tangganya tidak masuk kerja karena sakit. Sementara, sang suami sedang bekerja. Lalu, si anak BAB?
Saya tak bisa membayangkan bagaimana pusingnya si ibu jika mudah jijik. Bisa jadi anaknya tak terurus saat BAB. Bisa jadi si ibu menunggu suami pulang untuk mengurus anak yang BAB. Atau bisa jadi meminta bantuan tetangga.
Tapi, memangnya relasi antartetangga di lingkungan orang kaya memang erat? Kalau di desa atau di lingkungan yang tidak elite, relasi antartetangga bisa berjalan dengan baik. Di desa, kalau ada warga yang sedang hajatan, maka tetangga menyempatkan untuk membantu walau tak penuh waktu. Itu sudah biasa.
Kembali ke jijik. Kalau wanita jijik dengan hal yang kotor memang akan menyulitkannya. Bukan hanya mengurus anak, tapi juga misalnya mengurus orangtua yang sakit. Tak sedikit di zaman ini saya lihat orang tua sakit tak bisa beraktivitas. Mereka hanya ada di kursi roda. Bahkan, ada juga yang hanya di kasur tiap harinya.
Kondisi itu membutuhkan kepedulian keluarga untuk mengurusnya. Nah, kalau wanita jijik bagaimana jika dihadapkan dengan realitas membantu orang tua yang sakit? Membantu orang tua yang BAB. Repot kan?