Lihat ke Halaman Asli

Membusungkan Dada yang Tidak Busung

Diperbarui: 26 Juni 2016   20:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Ketika belajar  Ilmu Politik dan Ilmu Sejarah, mengapa seringkali rujukan kita Plato, Comte, Marx, Durkheim, Hegel , Wallerstein, Durkheim, Toynbee, Laswell, Habermas, Amstrong dan seterusnya. Sesekali yang muncul ilmuan muslim seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Harusnya kita merujuk kepada pemikir-pemikir Islam, pak!”, protes seorang mahasiswa saya, di sebuah kelas pagi. 

Bahagia saya. Ia kritis. Ia turut prihatin. 

Saya juga demikian. Saya juga berkeinginan untuk memperbanyak rujukan-rujukan yang berasal dari pemikir-pemikir Islam. Tapi ketika kita membaca dan menelaah karya-karya (khususnya di bidang Ilmu Sosial dan Humaniora), justru para pemikir-pemikir itu juga merujuk kepada nama-nama yang kamu sebutkan di atas. Sebutkanlah beberapa nama diantaranya, yang mulai saya perkenalkan kepada mahasiswa  seperti Ismail Raji al-Faruqi, Naquib al-Attas, Ali Asghar Engineer, Ali Shariati, Murthada Mutahhari, Fazlur Rahman, Pervez Hoodboy, Fatima Mernissi, Bassam Tibi, Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra dan seterusnya.  

Begini saja. Sebagai perumpamaan saja. Tidak mungkin kita mencaci hingga tidak menggunakan internet ataupun program Microsoft yang diciptakan manusia pintar – “Yahudi 24 karat” – bernama Bill Gates, atau tidak apresiatif terhadap Ipad yang kamu pakai karena ditemukan oleh  pihak “out-group” maupun berinteraksi melalui facebook karya si Marck Zuckenberg itu.  Walau ada beberapa orang yang mengklaim (pendapat ini berseliweran di berbagai linimasa) bahwa internet ditemukan oleh orang  Islam dengan justifikasi  terminologis bahwa  WWW adalah singkatan dari Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakaatuh, atau Ipad yang berasal dari kata “Aifahd” dan facebook ditemukan oleh orang Arab bernama Fasbullah.  Silahkan kamu tertawa mensikapi hal ini. Nalarmu harus jalan. 

Pointnya bagi saya adalah apa salahnya kita mengutip dan menjadikan pendapat orang lain (pihak outgroup) sebagai rujukan, selagi itu membantu dan memudahkan kerja kita.  Hal terbaik yang harus kamu lakukan adalah mengakui kelebihan orang lain, belajar dari kelebihan orang lain. Itu jauh lebih baik dibandingkan terus membusungkan dada yang  tidak busung atau menepuk dada yang terasa sakit. 

Semoga kalian mampu menjadi orang-orang besar sebagaimana yang kita sebutkan di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline