Langkah DPR mengutus Arsul Sani menggantikan Wahiduddin Adams di MK mempertontonkan penyimpangan kekuasaan yang permisif. Dipilihnya Arsul, yang tengah menjabat Wakil Ketua MPR sekaligus Waketum PPP, membuktikan syahwat oligarkis yang telah menjalar begitu jauh hingga menjangkau kursi panas Hakim Konstitusi. Arsul tidak mungkin dibersihkkan dari preferensi politiknya mengingat kehendak DPR agar Hakim Konstitusi terlebih dahulu berkonsultasi kepada lembaga legislatif itu sebelum memutus perkara. Pernyataan terbuka yang disampaikan Bambang Pacul tersebut jelas menyerang independensi MK yang melulu dipertanyakan.
Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan pengisian jabatan sembilan Hakim Konstitusi dilakukan dengan cara pengusulan oleh Presiden, DPR dan MA yang masing-masing mengusulkan tiga Hakim Konstitusi. Berakhirnya masa jabatan Wahiduddin Adams yang merupakan Hakim Konstitusi usulan DPR terhitung 17 Januari 2024 mendatang mengharuskan DPR untuk mempersiapkan penggantinya. Hanya saja, mekanisme yang seharusnya berupa pengusulan telah digeser sedemikian rupa menjadi pengutusan. Akibatnya Hakim Konstitusi yang diusulkan merupakan representasi langsung atas kepentingan DPR.
Utusan DPR
Gangguan independensi MK bukan pertama kali dilakukan DPR, dan strateginya selalu dengan dua cara, perubahan UU MK dan pengisian jabatan Hakim Konstitusi. Setelah menghadiahi Hakim Konstitusi dengan masa jabatan yang panjang melalui perubahan UU MK di tahun 2020, berakhirnya masa jabatan Wahiduddin merupakan momentum yang tepat bagi DPR untuk kian merusak MK. Paling kentara adalah pemasangan Guntur Hamzah yang dilakukan secara serampangan. Bahkan ketika itu Arsul turut membenarkan bahwa Hakim Konstitusi usulan DPR haruslah seorang loyalis kepada lembaga pengusulnya. Konsekuensi yang dipertaruhkan adalah jabatan Hakim Konstitusi tersebut, hal inilah yang menimpa Aswanto karena terlalu sering membatalkan undang-undang bikinan DPR.
Dikirimnya Arsul setelah melalui drama uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III, kian mempertegas pergeseran peran DPR dari sekadar pengusul menjadi pengutus. Dengan posisi moril Arsul, ia tak ubahnya merupakan politisi bertoga yang ditugasi sebagai tukang stempel konstitusionalitas bagi undang-undang bikinan DPR. Bergabungnya Arsul bersama Arief Hidayat dan Guntur Hamzah, yang telah lulus skrining loyalitas, adalah langkah pamungkas DPR yang menanam sel kanker langsung ke tubuh majelis Hakim Konstitusi. Sebagai utusan, mereka niscaya mesti patuh pada apa yang telah digariskan dari Senayan. Artinya, DPR telah memiliki tiga suara dari sembilan Hakim Konstitusi yang bertugas mengadili produk hukum bikinannya yang kerap menyimpangi kehendak rakyat.
Bila ditambah Ketua Hakim Konstitusi, Anwar Usman, yang merupakan semenda Presiden, maka sempurnalah keempatnya berperan sebagai sel kanker penghancur independensi dan marwah MK.
Momentum Pemilu dan Peta Politik
Pengutusan Arsul oleh DPR tidak dapat dilepaskan dari peta politik Indonesia jelang perhelatan akbar pemilu 2024 yang tinggal beberapa bulan. Melihat peta koalisi di mana PPP telah menautkan keberpihakan politiknya dengan berkoalisi bersama PDIP untuk mengusung Ganjar Pranowo, hal itu tidak mungkin bisa dilepaskan dari peran Arsul dalam membangun komunikasi politik mengingat posisinya sebagai Waketum PPP. Artinya, Arsul turut serta dalam penyusunan strategi politik PPP pada pemilu 2024 dan telah memiliki gambaran utuh tentang visi politik partainya.
Eksistensi PDIP sebagai partai dengan suara mayoritas di DPR yang berkoalisi dengan PPP telah cukup menggambarkan bahwa partai itu punya saham besar dalam jabatan Arsul. Bahkan preferensi politik Arsul terbukti dari pernyataan bahwa ia kelak akan menghindari sengketa pemilu yang berkaitan dengan PPP. Pendirian itu jelas memperlihatkan bahwa Arsul nantinya masih akan mengenakan seragam partai di balik jubah Hakim Konstitusi.
Melihat komposisi Hakim Konstitusi yang terdiri dari empat orang loyalis kekuasaan memperlihatkan nilai tawar MK yang merosot jauh, seolah gundik peliharaan oligarki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H