Lihat ke Halaman Asli

Ilhamdi Putra

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Manajer Riset LBH Pers Padang, Peneliti Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Peneliti Ruang Riset Sastra dan Humaniora Lab. Pauh9

Sistem Kamar di Peradilan Umum

Diperbarui: 24 September 2023   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Tatang Guritno/Kompas.com https://nasional.kompas.com/read/2022/02/23/00450021/tugas-dan-wewenang-mahkamah-agung

John Chipman Gray dalam The Nature and Source of Law (2019) mengajukan pengamatan menarik ihwal fenomena kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Pemikir positivis itu menelisik secara sosiologis bahwa masyarakat lebih mematuhi putusan pengadilan ketimbang undang-undang, sehingga ia menilai hukum sebagai aturan perilaku yang ditetapkan oleh pengadilan. Fenomena itu dapat ditarik pada dua sudut pandang. Dari sisi kedaulatan rakyat, ini merupakan ironi produk hukum yang melalui proses legislasi di lembaga perwakilan. Sedangkan dari sisi efek mengikat suatu hukum, ini merupakan kenyataan karena pengadilan merupakan institusi penegakan undang-undang yang memiliki sumber daya eksekutorial.

Artinya, pengadilan yang berada di posisi kedua pada diskursus mengikatnya hukum, hadir sebagai entitas yang menjamin diselenggarakannya efek memaksa suatu hukum. Keadaan itulah yang menjadikan pengadilan, bersama hakim yang menjalankan fungsinya, berada pada posisi kunci guna menegakan keadilan. Posisi sentral pengadilan dan hakim meniscayakannya untuk hadir sebagai entitas yang menjalankan fungsi peradilan secara profesional.

Salah satu upaya mewujudkan idealisasi itu adalah melalui penerapan sistem kamar di MA yang memisahkan hakim berdasarkan bidang keahlian untuk mengadili perkara yang sesuai dengan kompetensi keilmuannya. Namun penerapan sistem kamar tersebut tidak diberlakukan di badilum yang merupakan pintu masuk bagi perkara-perkara yang pada tahapnya tiba di tingkat kasasi. Akibatnya para hakim tingkat pertama dan banding di badilum mengadili berbagai perkara, baik itu publik maupun privat, sedangkan keduanya memiliki karakteristik berbeda.

Dari Beban Perkara Hingga Karakter Publik dan Privat

Dari empat badan peradilan yang berada di bawah MA, badilum merupakan lingkungan tersibuk. Menilik Laporan Tahunan MA rentang 2018-2022, beban perkara badilum memang fluktuatif dan sempat mengalami penurunan sebesar 42,63% di tahun 2020 dengan rasio penyelesaian perkara sebesar 97,83%. Hanya saja fluktuasi tersebut tidak mengurangi beban perkara yang berkisar di antara 2 juta hingga 3 juta kasus per tahun, jumlah itu termasuk limpahan perkara tahun sebelumnya yang belum diputus. Untuk pengadilan tingkat pertama saja, perkara pidana rata-rata berjumlah 3 juta sedangkan perkara perdata tidak beranjak dari angka seratusan ribu perkara per tahun.

Beban kerja itu diperparah dengan ketimpangan perbandingan antara jumlah perkara dengan jumlah hakim di badilum. Kembali pada Laporan Tahunan MA rentang 2018-2022, hakim badilum di tingkat pertama berjumlah 3.688 orang dan 904 orang di tingkat banding. Jumlah itu tersebar di 412 Peradilan Umum, yang terdiri dari 11 Pengadilan Tinggi Tipe A, 19 Pengadilan Tinggi Tipe B, 15 Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus, 45 Pengadilan Negeri Kelas 1A, 105 Pengadilan Negeri Kelas 1B, dan 217 Pengadilan Negeri Kelas II. Dengan beban perkara yang senantiasa tumbuh seiring perkembangan masyarakat, fenomena ini bukanlah persoalan sepele, hal itu kembali diperparah oleh tidak adanya pengelompokan hakim berdasarkan kompetensi keahlian untuk mengadili perkara yang sesuai dengan bidangnya. Bahwa hakim dengan keahlian perdata yang berkarakter privat dibebankan mengadili perkara pidana yang berkarakter publik. Begitu sebaliknya. Sedangkan hakikatnya dua ranah hukum tersebut memiliki perbedaan prinsipiel. Keadaan ini berpotensi mengakibatkan pengadilan terjebak dalam disparitas putusan dan berjarak dari nilai integritas.

Misalnya di perkara perdata, dua subjek hukum berperkara memiliki hubungan hukum dengan objek sengketa dalam ruang privat untuk melakukan pembuktian secara formil. Kuatnya kepentingan para pihak mengakibatkan hakim bersifat pasif. Sedangkan di perkara pidana, hukum begitu kontras membedakan hitam-putih perbuatan, sehingga hubungan hukum yang terjadi bersifat langsung antara subjek hukum dengan negara yang dibebani tanggung jawab penegakan hukum. Di ranah publik ini hukum pidana mengerangkeng hubungan hukum secara vertikal antara negara dengan subjek hukum, akibatnya hakim memutus berdasarkan kebenaran materiel yang mengharuskannya bersifat aktif.

Desain Sistem Kamar di Badan Peradilan Umum

Reformasi pengorganisasi badilum dapat menggunakan model sistem kamar MA, namun lebih sederhana karena hanya memiliki Kamar Pidana dan Kamar Perdata dengan menempatkan hakim berdasarkan bidang keahliannya. Nantinya per kamar dapat diisi minimal 3 orang hakim sehingga terdapat seorang hakim yang merangkap Ketua Kamar. Desain ini dapat dilakukan secara beriringan dengan mewujudkan proporsionalitas persebaran hakim untuk mengisi Kamar Pidana dan Kamar Perdata di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Desain ini dapat memudahkan pelacakan kinerja hakim karena ia difokuskan pada satu jenis perkara, dan simultan memudahkan jenjang karir hakim karena model pengisian jabatan Calon Hakim Agung dilakukan secara langsung pada sistem kamar yang didasari oleh bidang keahlian. MA dapat mempertimbangkan diskursus ini untuk melakukan reformasi peradilan yang nyata dan menyeluruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline