Banyaknya cocokologi gaya kepemimpinan antara Jokowi dan Suharto mulai santer diperbincangkan. Dilansir dari www.infoindonesia.id, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa, praktik korupsi tidak pernah lepas dari program pembangunan baik di era Soeharto maupun Jokowi. YLBHI menjelaskan juga menambahkan bahwa, di era kepemimpinan Jokowi, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan fisik dan serba "dari atas" ke "bawah" untuk kejar target politik dan mengesampingkan demokrasi. Untuk mengupas lebih lanjut cocokologi tersebut, mari kita uraikan apa yang sebenarnya terjadi pada masa pra-orde baru maupun pelajaran politik dan kebijakan yang terjadi didalamnya.
Masa Kepemimpinan Soeharto (Orde Baru)
11 Maret 1966, dalam keadaan terguncang dan terjebak dalam kekacauan, Presiden Indonesia pertama IR. Soekarno dipaksa menandatangani sebuah dekrit yang memberikan kekuasaan kepada Jenderal Suharto untuk melakukan tindakan-tindakan demi menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas negara. Dekrit ini dikenal sebagai dokumen SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) yang pada akhirnya menjadi alat pemindahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Suharto. Dengan cepat, Soeharto melarang segala aktivitas PKI, mulai membersihkan militer dari elemen-elemen aliran kiri, dan mulai memperkuat militer dalam pondasi politik Indonesia. Power Soekarno dalam pemerintahan yang semakin lemah, dimanfaatkan oleh Suharto. Suharto secara formal dinyatakan sebagai pejabat presiden sementara pada tahun 1967 dan dilantik menjadi Presiden Indonesia kedua pada tahun 1968.
Munculnya Orde Baru, memberikan perubahan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat drastis. Pemerintah Suharto fokus pada pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan dunia Barat mulai dipulihkan oleh pemerintahan Suharto sehingga memungkinkan mengalirnya dana bantuan asing yang sangat dibutuhkan untuk masuk ke Indonesia. Manajemen fiskal yang penuh kehati-hatian mulai dilaksanakan oleh para teknokrat dan konfrontasi yang berbahaya dan mahal melawan Malaysia pun dihentikan. Indonesia pada saat itu mulai bangkit dari segi ekonomi meskipun berhadapan dengan tumpukan hutang, Pemerintah Orde Baru terlihat gahar dengan segudang prestasinya, diantaranya;
Pengingkatan dari GDP per kapita dari $70 hingga $1000 pada tahun 1996.
Tingkat pengangguran mulai menurun karena masyarakat semakin banyak yang pandai membaca.
Tercukupinya kebutuhan pangan.
Peningkatan keamanan di dalam negri.
Keberhasilan dari pelaksanaan gerakan wajib belajar dan juga gerakan orang tua asuh.
Mendapat penghargaan internasional dalam hal pengendalian angka kelahiran
Rencana pembangunan 5 tahun yang sukses di jalankan.
Mendapat sebutan sebagai 'Macan Asia' dan 'High Performing Asian Economy (HPAE). Dari institusi-institusi internasional
Pembangunan Ekonomi dan Pendidikan yang berhasil tersebut, ternyata tidak dibarengi oleh keadaan politik yang sehat. Depolitisasi ala Suharto sebenarnya mulai nampak sejak pertama dilantiknya ia menjadi presiden, Melalui Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) Suharto menjadikannya sebagai kendaraan parlementer yang kuat. Golkar mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dipengaruhi oleh partai-partai politik lawannya. Selanjutnya, Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam pemilihan umum akan mendukung pemerintahan Suharto. Golkar memiliki jaringan sampai ke desa-desa dan didanai untuk melebih-lebihkan pencapaian Pemerintah Pusat. Hingga para pegawai negeri sipil diwajibkan mendukung Golkar sementara kepala-kepala desa harus memenuhi kuota suara untuk Golkar yang diberikan. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada pemilihan umum 1971.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Suharto 'mendorong' sembilan partai politik yang ada untuk bergabung sehingga tinggal dua partai. Partai pertama adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam dan partai kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen. Kendati begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum.
Di sisi lain, Pemerintahan yang dibanjiri apresiasi soal pembangunan ini, nampaknya tidak mau kehilangan apresiasi yang ia dapatkan. dengan melakukan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat yang dianggap sebagai oposisi pada pemerintahan Suharto kala itu. Maraknya konflik antara pendemo dengan aparat, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme semakin memperburuk citra kekuasaan Suharto saat itu. Pemerintahan orde baru-pun dinilai gagal mendapat kepercayaan dari masyarakatnya. Hingga pada akhirnya akibat kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang diperparah dengan terjadinya Krisis moneter internasional yang terjadi pada tahun 1996-1998, pemerintahan Suharto akhirnya lengser pada 21 Mei 1998.
Masa Kepemimpinan Jokowi
Tak jauh beda dengan masa kepemimpina Suharto, Kali ini kita tentu merasakan pembangunan yang nyata. Mulai dari pembangunan infrastruktur, Peningkatan Ekonomi sekalipun terdampak pandemi dan hubungan internasional yang stabil, ditandai dengan dijadikannya Indonesia sebagai tuan rumah untuk Presidensi KTT G20 di Pulau Bali. Secara politik, Jokowi berhasil mengonsolidasi parlemen untuk menjadi bagian pendukung pemerintah. Setidaknya ada tujuh fraksi yang mendukung pemerintah di parlemen, Tentu hal ini sudah terjadi di masa pemerintahan Suharto, Presiden yang berhasil memenangkan suara di parlemen hingga mendapuk kepemimpinan di eksekutif selama 32 tahun, Apakah hal tersebut akan terjadi di Masa Jokowi ?, tentu ini masih menjadi sebuah misteri.
Dibalik prestasi-prestasi yang telah dicanangkan. Terjadi sebuah kemunduran dalam hal demokrasi di masa pemerintahan Jokowi. Dilihat dengan maraknya tren Buzzer di masa Jokowi. Bagi pegiat media sosial, tentu tidak asing lagi dengan Buzzer adalah orang yang memiliki pengaruh tertentu untuk menyatakan suatu kepentingan. Buzzer dapat bergerak dengan sendirinya untuk menyuarakan sesuatu, atau bisa jadi ada sebuah agenda yang disetting. Dalam menyuarakan suatu kepentingan ini dapat dilakukan secara langsung dengan identitas pribadi atau secara anonim. Jika di masa Suharto sekali kritik langsung diculik, maka di Masa Jokowi sekali kritik langsung di bully. Dari situ timbul banyak kalangan yang mulai memberikan mosi tidak percaya pada kepemimpinan Jokowi, Banyak masyarakat yang menilai bahwa, pemerintah menutup ruang kebebasan berpendapat di publik dengan cara yang picik, melalui Buzzer . Dalam catatan kepemimpinannya di periode pertama dan kedua pun telah banyak terjadi tindakan tak bersahabat pada pendemo dari aparat maupun Polisi. Entah disengaja atau tidak, yang pasti tindakan-tindakan representatif aparat yang terjadi pada pendemo, telah santer dan tersebar luas diseluruh kalangan masyarakat. Apakah semuanya adalah sebuah indikasi dari kembalinya kita di masa kelam politik orde baru ?, Atau sebaliknya, Justru kita hanya sedang menebarkan ujaran kebencian ataupun "Hoax"seperti yang dikatan salah satu Staff Istana Ali Mochtar Ngabalin, Kita tunggu saja. Yang pasti, dalam sebuah negara yang sedang dalam kondisi Politik yang tidak sehat, ada ribuan bahkan jutaan berita Hoax tersebar. Disitu peran pemerintah bukanlah melarang masyarakat untuk memilih dalam membaca berita, melainkan pemerintah perlu mengembalikan kestabilan politik di negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H