Oleh: Ilham Bagja Lugina
Pancasila, sebagai dasar negara dan panduan etis bangsa Indonesia, telah menjadi fondasi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks penyiaran, nilai-nilai Pancasila harusnya menjadi rujukan utama dalam merancang regulasi yang menjamin kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi. Namun, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang digodok oleh DPR belakangan ini tampak bertentangan dengan semangat Pancasila tersebut.
Pancasila dan Kebebasan Pers
Pancasila, terutama sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" dan sila keempat "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan", menuntut adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat. Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi yang diakui secara universal sebagai hak asasi manusia. Melalui kebebasan ini, masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar, adil, dan tidak berpihak.
Namun, pasal-pasal dalam RUU Penyiaran, seperti Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan ini. Pasal ini berpotensi menghalangi media dalam menjalankan fungsi pengawasan dan kontrol sosialnya. Padahal, investigasi jurnalistik sering kali menjadi ujung tombak dalam mengungkap kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan berbagai pelanggaran hukum lainnya.
KPI vs Dewan Pers: Tumpang Tindih Kewenangan
Kontroversi lainnya muncul dari Pasal 42 ayat 2 yang mengatur bahwa sengketa jurnalistik akan diselesaikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bukan Dewan Pers. Ini bukan hanya tumpang tindih kewenangan, tetapi juga mengabaikan UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang secara jelas menempatkan Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang menangani sengketa jurnalistik.
Keputusan untuk memberikan wewenang tersebut kepada KPI berisiko menciptakan bias dan konflik kepentingan, mengingat KPI lebih berfokus pada regulasi konten siaran dan bukan pada etika jurnalistik. Ini mengingatkan kita pada sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," yang menuntut adanya keadilan dan tidak adanya diskriminasi dalam penegakan hukum dan regulasi.
Demokrasi dan Risiko Kembali ke Masa Kelam
Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, harus belajar dari sejarah kelam Orde Baru di mana kebebasan pers dibungkam dan informasi dikendalikan secara ketat oleh pemerintah. Mengingat indeks kebebasan pers Indonesia yang turun ke peringkat 111 pada tahun 2024 menurut Reporters sans frontières (RSF), kekhawatiran bahwa RUU Penyiaran ini akan membawa Indonesia kembali ke masa-masa gelap sangat beralasan.
Para jurnalis dan aktivis pers telah mengkritik keras RUU ini sebagai upaya serius untuk memberangus kebebasan pers, bahkan lebih parah dari era Orde Baru. Mereka menyebutnya sebagai "upaya paling serius” dalam mengekang kebebasan pers di era keterbukaan ini.
Penutup: Pancasila sebagai Panduan
RUU Penyiaran seharusnya disusun dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan utama, memastikan bahwa setiap pasal menghormati prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Pemerintah dan DPR harus mendengar suara rakyat dan insan pers, serta melakukan harmonisasi regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan yang merugikan kebebasan pers dan demokrasi.
Indonesia harus maju dengan semangat Pancasila yang sesungguhnya: membangun negara yang adil, beradab, dan demokratis, di mana kebebasan pers dijaga sebagai pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.