Belakangan ini Pemerintah terus bersihkukuh melaksanakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur di tengah banyaknya kritik dan protes dari publik terkait dengan pembangunan dan pemindahan IKN.
Pemerintah beralasan terhadap beberapa urgensi mengenai pembangunan dan pemindahan IKN ini:
Pertama, mengurangi kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa, Kedua, pemerataan ekonomi, Ketiga, krisis ketersediaan air bersih di Jawa dan Keempat, ketersediaan lahan.
Komite Nasional Pembangunan Agraria (KNPA) menilai rencana pemindahan ini sarat masalah, dan tidak menjawab persoalan struktural seperti yang dikemukakan pemerintah. Undang-Undang No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) sebagai basis kebijakan pemindahan ini menuai banyak pro-kontra.
Sebab dilakukan tanpa persetujuan dan partipasi secara penuh serta efektif dari masyarakat secara luas sebagai pemberi mandat. UU ini secara substantif tidak mencerminkan semangat perlindungan hukum bagi masyarakat, khususnya yang berada di wilayah IKN yang akan terdampak secara ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup.
Pembahasan yang hanya memakan waktu 43 hari sama sekali tidak mencerminkan niat pemerintah mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, ada beberapa pelanggaran aspek fundamental karena memaksakan pemindahan IKN ini:
Aspek Sosial Ekonomi
Lokasi pembangunan IKN bukanlah tanah kosong atau tanah tak bertuan, melainkan tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat adat dan petani setempat. Selain itu tata ruang IKN sama sekali tidak diperuntukkan dan tidak berpihak pada masyarakat miskin, dan sesat pikir dalam kegagalan mendefinisikan makna pemerataan ekonomi.
Aspek Hukum
Produk Undang-undang yang menggunakan sistem kebut, tidak transparan dan tidak partisipatif dan tata laksana badan otorita yang ugal-ugalan dan menabrak konstitusi.
Hak Atas Tanah dan Lingkungan