Lihat ke Halaman Asli

Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa: Mengapa Tekanan Sosial Budaya Menjadi Pemicu Utama?

Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Mengapa semakin banyak mahasiswa yang memilih untuk mengakhiri hidup mereka? Apakah budaya sukses telah menciptakan tekanan yang mematikan?

Rentetan Kasus Bunuh Diri Mahasiswa yang Menggemparkan

Beberapa waktu terakhir, masyarakat dikejutkan dengan rentetan kasus bunuh diri yang melibatkan mahasiswa dari berbagai daerah. Fenomena ini mencerminkan adanya tekanan psikologis yang dirasakan oleh mahasiswa, yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa. Sebagai contoh, di Jakarta, seorang mahasiswa universitas negeri terkemuka mengakhiri hidupnya dengan meninggalkan catatan yang menyebutkan rasa tertekan terhadap nilai akademik yang tidak memuaskan (Sumber: Media Nasional, 2024). Tidak lama kemudian, kejadian serupa terjadi di Surabaya, di mana seorang mahasiswa ditemukan meninggal dengan surat wasiat yang menyatakan ketidakmampuannya memenuhi harapan keluarga yang menuntutnya menjadi lulusan terbaik (Sumber: Media Lokal, 2024).

Kasus-kasus ini tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga di Yogyakarta, yang dikenal sebagai Kota Pelajar. Seorang mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah mengalami perundungan (bullying) dan merasa tidak mendapat dukungan dari lingkungannya (Sumber: Media Online, 2024). Rentetan peristiwa ini menunjukkan bahwa isu bunuh diri di kalangan mahasiswa bukan hanya masalah individu, tetapi juga fenomena sosial yang membutuhkan perhatian serius dari masyarakat dan institusi pendidikan.

Mengapa Mahasiswa Rentan? Faktor Sosial Budaya yang Mendorong Bunuh Diri

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Tekanan Budaya dan Harapan Sosial yang Tinggi

Di Indonesia, konsep kesuksesan sering kali diukur dari pencapaian akademis dan profesional. Budaya yang mengagungkan "anak harus sukses" menjadi tekanan besar bagi mahasiswa. Menurut studi dari Yayasan Indonesia Bahagia (2023), lebih dari 65% mahasiswa mengaku merasa tertekan untuk mencapai standar yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Hal ini diperparah oleh stigma bahwa kegagalan dianggap sebagai aib yang mencoreng nama baik keluarga. Dalam konteks sosial budaya Indonesia yang bersifat kolektif, mahasiswa tidak hanya membawa beban diri sendiri, tetapi juga beban ekspektasi dari keluarga dan komunitas sekitarnya (Yayasan Indonesia Bahagia, 2023).

Minimnya Ruang untuk Gagal

Sistem pendidikan di Indonesia masih cenderung fokus pada hasil daripada proses. Budaya yang menuntut mahasiswa untuk terus berprestasi tanpa memberikan ruang untuk gagal menciptakan rasa takut yang berlebihan. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2023), hampir 70% mahasiswa yang mengalami kegagalan akademis melaporkan peningkatan kecemasan dan perasaan tidak berharga (Kemendikbud, 2023).

Isolasi Sosial dan Kurangnya Dukungan Psikososial

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline