Lihat ke Halaman Asli

Algoritma Media Sosial: Apa yang Sebenarnya Mereka lakukan pada Pola Pikir Kita?

Diperbarui: 8 Oktober 2024   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Menggali Permukaan Dunia Digital

Coba bayangkan saat kamu membuka aplikasi media sosial di ponsel, tanpa sadar kamu tenggelam dalam lautan konten yang tiada habisnya. Dari satu video TikTok yang menghibur hingga berita terkini di Twitter, rasanya ada dorongan kuat untuk terus menggulir layar. Tapi, apakah kamu benar-benar memilih konten tersebut, atau ada kekuatan lain yang menentukan apa yang muncul di beranda?

Jawabannya ada pada satu kata: algoritma. Algoritma ini tidak hanya memilihkan konten berdasarkan preferensi kita, tapi juga membentuk pola pikir dan, secara perlahan, cara kita melihat dunia. Namun, seberapa besar sebenarnya pengaruh algoritma terhadap perilaku kita? Mari kita bongkar misteri di balik layar media sosial ini.

Menurut sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Personality and Social Psychology (Pariser, 2011), algoritma yang dirancang untuk menyesuaikan konten berdasarkan klik dan waktu tayang dapat mempersempit cakrawala informasi, menciptakan apa yang dikenal sebagai "filter bubble." Artinya, pengguna hanya akan melihat informasi yang mendukung pandangan mereka, sementara sudut pandang lain semakin jarang muncul.

Bagaimana Algoritma Media Sosial Bekerja?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Algoritma media sosial dirancang untuk satu tujuan: menjaga pengguna tetap terlibat selama mungkin. Semakin lama kamu berada di platform, semakin besar kemungkinan kamu melihat iklan dan meningkatkan pendapatan platform tersebut. Tapi bagaimana sebenarnya algoritma ini bekerja?

Mari kita ambil contoh Facebook. Pada tahun 2016, algoritma Facebook diubah untuk lebih menekankan pada konten yang diposting oleh teman dekat dan keluarga, berdasarkan anggapan bahwa interaksi ini lebih bermakna. Namun, perubahan ini tidak hanya meningkatkan interaksi, tetapi juga menciptakan echo chamber, di mana pengguna cenderung hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa. Sebuah laporan dari MIT Technology Review (Vosoughi et al., 2018) menunjukkan bahwa berita palsu dan informasi yang memancing emosi negatif lebih sering diprioritaskan oleh algoritma, menyebabkan polarisasi opini yang lebih tajam di antara pengguna.

Dalam konteks TikTok, algoritmanya lebih berfokus pada watch-time atau waktu tonton. Semakin lama kamu menonton sebuah video, semakin tinggi kemungkinan video serupa akan muncul di feed kamu. Ini menjelaskan mengapa setelah menonton satu video tentang kesehatan mental, kamu tiba-tiba mendapatkan banyak konten serupa. Fenomena ini disebut dengan "content loop," di mana pengguna terus dibombardir dengan topik yang sama hingga pandangan mereka terhadap isu tersebut bisa berubah secara radikal.

Dampak Nyata pada Pola Pikir dan Perilaku Pengguna

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline