Mengapa Kampanye Politik di Indonesia Lebih Fokus Pada Citra daripada Moralitas?
Dalam beberapa dekade terakhir, kampanye politik di Indonesia semakin sering menjadi ajang pencitraan. Banyak pemimpin politik yang tampaknya lebih peduli dengan bagaimana mereka tampil di depan publik daripada mempromosikan gagasan dan moralitas yang kuat.
Panggung kampanye sering diisi dengan hiburan rakyat seperti konser musik, selebriti, hingga gimmick yang jauh dari adu gagasan substantif.
Fenomena ini mengundang keresahan, terutama di kalangan pemilih yang ingin melihat perubahan nyata dalam kebijakan dan tata kelola pemerintahan.
Banyak masyarakat yang bertanya-tanya: mengapa kampanye politik lebih fokus pada citra? Apakah ini sekadar cara untuk menarik perhatian pemilih ataukah ada masalah yang lebih mendalam yang sedang kita hadapi?
Elektabilitas Mengalahkan Gagasan
Salah satu akar masalah utama dari fenomena ini adalah elektabilitas. Elektabilitas merujuk pada seberapa besar kemungkinan seorang kandidat terpilih dalam pemilu, dan ini sering kali didasarkan pada popularitas dan pengaruh media, bukan pada moralitas atau kompetensi intelektual.
Pemilih di Indonesia, terutama yang berada di pedesaan atau kurang terpapar informasi politik, sering kali terpengaruh oleh visual dan citra seorang pemimpin daripada menganalisis gagasan atau visi yang ditawarkan.
Ini memberikan insentif bagi politisi untuk lebih memusatkan perhatian mereka pada pencitraan.
Dampak Buruk dari Kampanye Citra