KENAPA? Pertanyaan ini, entitas gaib yang menyusup ke dalam setiap celah kesadaran manusia, seperti aroma kopi basi di pagi yang tak pernah datang. Kita bertanya tidak karena berharap jawaban, tetapi karena bertanya adalah satu-satunya gerakan yang membuat kita tetap bergerak di tengah kerumunan absurditas yang mencekik.
Pernahkah kau berpikir bahwa mungkin semua ini adalah lelucon semesta, bahwa "KENAPA" hanyalah gumaman kosong yang terperangkap dalam cangkang kepalamu? Semesta, makhluk tanpa wajah, memandang kita dengan kebisuan, seolah berkata, "Tanyakanlah, aku akan mendengar, tapi aku tidak peduli."
Kita, entitas kecil yang terjebak di dalam labirin eksistensi, terus berjalan, mengikuti jejak pertanyaan "KENAPA" yang dicatkan pada tembok-tembok realitas. Namun, alih-alih membawa pencerahan, setiap belokan hanya mempertemukan kita dengan bayangan sendiri, yang menertawakan kita dengan ekspresi yang familier tapi tak bisa diingat.
Kita menari dengan ilusi jawaban, yang setiap kali hampir terpegang, ia menguap seperti asap, meninggalkan hanya aroma getir dari harapan yang remuk.
Dan di situlah manusia, dalam absurditas yang telanjang, menyadari satu hal: bertanya "KENAPA" bukanlah untuk menjawab teka-teki, tetapi untuk memeriahkan panggung kosong ini dengan kerlip cahaya yang aneh, yang hanya bisa dilihat dalam keputusasaan.
Kita hidup di atas tali tipis antara makna dan kehampaan, seperti akrobat yang terlalu berani atau terlalu bodoh untuk menyadari jurang di bawahnya.
Apa makna dari pertanyaan yang tiada habisnya ini? Camus mungkin akan tersenyum, memandang kita dari jauh dengan mata yang mencemooh namun penuh simpati, berbisik bahwa absurditas adalah sahabat yang sejati, bukan musuh.
Namun, manusia terus bertanya, tak peduli bahwa jawaban yang diinginkan tak akan pernah tiba. Pertanyaan "KENAPA" menjadi api yang membakar dirinya, menjaga tubuh tetap hangat dalam malam panjang kosmis. Apakah itu cukup? Mungkin tidak.
Tapi dalam ketidakcukupan itu, ada ironi: dalam pertanyaan yang tak terjawab, manusia menemukan keberanian untuk tertawa, untuk terus berjalan di tengah badai makna yang terus mengamuk. Di situ, ia menari, dengan langkah kacau namun penuh vitalitas, dalam simfoni pertanyaan yang menjadi musik bagi jiwa yang enggan diam.
Dan pada akhirnya, apakah "KENAPA" itu penting? Tidak, dan juga ya, dan itu adalah paradoks yang memabukkan. Kita menenun narasi dari absurditas, menyulam pengertian yang retak dengan benang mimpi dan harapan, hanya untuk melihatnya terurai di pagi yang baru.