Lihat ke Halaman Asli

Ilham Adli

kaum proletariat

cinta sang hamba kepada sang maha cinta

Diperbarui: 4 Desember 2024   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Pinterest

Cinta seorang hamba kepada Tuhan adalah labirin tak berujung, tempat setiap lorongnya dihiasi pertanyaan tanpa jawaban yang pasti, namun memancarkan keindahan yang melebihi logika. Dalam setiap sudutnya, cinta itu mengguratkan sebuah paradoks: kerinduan yang tak pernah terpuaskan, tetapi selalu penuh; perlawanan yang diam melawan kefanaan, namun justru mengantar pada ketenangan abadi. Ia bukan sekadar rasa yang lahir dari hati, tetapi cahaya yang memancar dari inti keberadaan, menembus setiap lapis realitas yang fana. Hamba berjalan tanpa henti, bukan untuk menemukan akhir, tetapi untuk meresapi makna dari setiap langkah yang menuju keabadian.

Dalam cinta itu, Tuhan hadir sebagai gema dalam keheningan dan denyut di tengah kehampaan. Sang hamba tak lagi mencintai dengan penglihatan, pendengaran, atau rasa yang terikat pada dunia. Ia mencintai dengan jiwa, dengan inti dari dirinya yang terdalam, bagian yang telah lama dilupakan oleh kebisingan dunia. Dalam cinta ini, ia tidak lagi hanya menginginkan Tuhan sebagai pelindung atau pemberi, tetapi sebagai satu-satunya makna. Segala yang dilihatnya, disentuhnya, dan dirasakannya menjadi penunjuk jalan yang mengarah kembali pada Sang Maha Ada.

Hamba itu memahami bahwa cinta kepada Tuhan adalah keterasingan yang indah. Ia melangkah menjauh dari dunia, bukan untuk meninggalkannya, tetapi untuk menemukan hakikat dunia itu sendiri: bayangan dari keabadian Tuhan. Ia sadar, bahwa mencintai Tuhan adalah memeluk kefakiran total, mengakui ketakberdayaan di hadapan yang Maha Sempurna. Namun dari pengakuan itu, ia menemukan kekayaan sejati, bukan dalam wujud, tetapi dalam rasa cukup akan kehadiran Tuhan dalam segala hal.

Cinta ini tidak meminta, tidak menuntut, tidak mendikte. Sebaliknya, ia menyerahkan, membebaskan, dan menerima. Dalam pengabdian yang tulus, sang hamba menemukan kebebasan sejati. Cinta kepada Tuhan adalah kematian ego, kematian hasrat akan dunia, dan kelahiran kembali sebagai bagian dari keabadian. Setiap tetes air mata yang jatuh adalah anak sungai yang mengalir ke samudra cinta Tuhan, setiap desah napas yang terhembus adalah tasbih yang berulang tanpa akhir, menyebut nama-Nya dalam keheningan semesta.

Seiring waktu, cinta itu semakin dalam, namun tidak pernah sampai pada dasar, karena Tuhan adalah samudra tanpa tepi. Hamba terus menggali, tetapi yang ditemukan bukanlah kepastian, melainkan rasa takjub yang meluap-luap. Hamba terus mendekat, tetapi setiap langkah mendekatkan pada kesadaran bahwa Tuhan tak bisa didekati, karena Dia telah lebih dekat dari urat nadi. Dalam paradoks ini, sang hamba tidak merasa putus asa; justru, ia merasakan cinta itu semakin hidup. Sebab cinta kepada Tuhan adalah perjalanan tanpa akhir, kerinduan tanpa jemu, dan penyerahan tanpa pamrih.

Pada akhirnya, cinta ini adalah perjalanan kembali ke asal. Seperti air yang mengalir ke lautan, sang hamba menyadari bahwa dirinya adalah percikan kecil dari Sang Maha. Namun dalam keterbatasan itu, ia menemukan keagungan. Sebab cinta kepada Tuhan bukanlah tentang seberapa besar hamba bisa mencintai-Nya, tetapi tentang menyadari bahwa dirinya telah dicintai sejak awal keberadaan. Dan dalam pemahaman itu, hamba menyerahkan segalanya---jiwa, raga, dan seluruh kehidupannya---kepada Sang Maha Cinta, untuk menjadi satu dalam harmoni keabadian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline