Dalam lanskap sosial-politik Indonesia, pesantren telah lama memainkan peran yang jauh lebih kompleks dari sekadar institusi pendidikan keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pusat pembelajaran agama, tetapi juga telah menjadi tempat pembentukan karakter dan kesadaran sosial yang mendalam. Dinamika ini menjadi semakin menarik ketika kita menyoroti fenomena munculnya santri-santri yang kemudian terlibat dalam gerakan-gerakan sosial progresif dan bahkan mengadopsi analisis kiri dalam membaca realitas sosial.
Sejarah mencatat bahwa pesantren, yang sering dikategorikan sebagai basis konservatisme dan nilai-nilai keagamaan ortodoks, sebenarnya memiliki tradisi perlawanan yang kuat terhadap ketidakadilan. Sejak masa kolonial, banyak pesantren yang menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan, tidak hanya dalam konteks fisik tetapi juga dalam ranah kultural dan ideologis. Para kyai dan santri pada masa itu tidak hanya mempertahankan identitas keislaman mereka, tetapi juga aktif melawan sistem eksploitasi kolonial yang menindas rakyat pribumi.
Dalam perkembangan kontemporer, fenomena santri yang bergerak dalam wacana dan gerakan kiri menjadi manifestasi menarik dari evolusi pemikiran Islam di Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai pesantren yang menekankan kesederhanaan, kebersamaan, dan kepedulian sosial dengan analisis kritis marxis dan teori-teori sosial progresif telah melahirkan sintesis unik dalam lanskap gerakan sosial Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kategorisasi dikotomis antara "santri konservatif" dan "aktivis kiri" tidak lagi memadai untuk menjelaskan kompleksitas identitas dan pergulatan ideologis di kalangan santri.
Transformasi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil dari dialog panjang antara tradisi pesantren dengan realitas sosial-politik yang terus berubah. Munculnya figur-figur seperti Tan Malaka, yang menggabungkan pemahaman Islam dengan analisis marxis, atau pemikir kontemporer seperti Hassan Hanafi yang mengembangkan "Kiri Islam", telah memberikan landasan teoretis bagi pertemuan antara Islam dan pemikiran kiri. Di Indonesia sendiri, tokoh-tokoh seperti KH. Abdurrahman Wahid telah menunjukkan bagaimana nilai-nilai pesantren dapat diharmonikan dengan pemikiran progresif untuk memperjuangkan keadilan sosial.
Fenomena ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks global, di mana gerakan-gerakan Islam progresif di berbagai belahan dunia mulai mengembangkan interpretasi yang lebih transformatif terhadap ajaran Islam. Teologi pembebasan, yang awalnya berkembang dalam tradisi Kristiani Amerika Latin, menemukan padanannya dalam pemikiran Islam progresif yang dikembangkan oleh santri-santri yang terlibat dalam gerakan sosial.
Tulisan ini berupaya mengeksplorasi dinamika kompleks tersebut, dengan fokus khusus pada bagaimana santri memposisikan diri dalam wacana dan gerakan kiri di Indonesia. Analisis akan diarahkan pada akar historis, transformasi pemikiran, manifestasi gerakan, serta tantangan dan prospek ke depan dari fenomena ini. Melalui pembahasan ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kontribusi potensial santri dalam perjuangan untuk keadilan sosial di Indonesia.
AKAR HISTORIS: PESANTREN DAN KESADARAN SOSIAL
Pesantren, sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, memainkan peran sentral dalam membentuk kesadaran sosial sejak masa kolonial. Dalam sejarahnya, pesantren tidak hanya menjadi tempat pendidikan agama, tetapi juga pusat resistensi terhadap penindasan, baik dari kolonialisme maupun feodalisme. Peran ini muncul karena pesantren, dengan ajarannya yang kental dengan nilai-nilai Islam, tidak hanya fokus pada pengajaran ritualistik agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, keadilan, dan keberpihakan kepada kaum tertindas.
1. Perlawanan terhadap Kolonialisme.
Selama masa penjajahan Belanda, pesantren menjadi salah satu pusat penting dalam perjuangan anti-kolonial. Para kiai sering kali terlibat dalam perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa kolonial, dengan menyatukan ajaran agama dan semangat nasionalisme. Kiai-kiai ini mengajarkan bahwa melawan kolonialisme bukan hanya persoalan politik, tetapi juga persoalan moral dan agama, karena penjajahan dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang harus dilawan. Misalnya, tokoh-tokoh seperti Kiai Haji Hasyim Asy'ari dan Kyai Ahmad Dahlan dikenal tidak hanya sebagai ulama, tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan.
Pesantren juga menjadi tempat perlindungan bagi para pejuang yang melawan kolonialisme. Dalam beberapa kasus, pesantren menjadi markas gerilya atau tempat persembunyian para tokoh pergerakan. Peran ini semakin menguatkan pesantren sebagai institusi yang tidak terpisahkan dari perlawanan sosial-politik. Melalui pendidikan yang mereka sediakan, para kiai membekali santri dengan pemahaman bahwa Islam mengajarkan keadilan, yang dalam konteks kolonial berarti membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
2. Ajaran Islam dan Kesadaran Keadilan Sosial.
Pesantren tradisional sangat menekankan pada ajaran-ajaran yang mendorong kesadaran sosial, seperti konsep ukhuwah (persaudaraan), amal jariyah (amal yang terus-menerus), serta konsep zakat dan sedekah yang mengajarkan pentingnya berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Ajaran ini tidak hanya dipahami dalam konteks hubungan individu dengan Tuhan, tetapi juga dalam kerangka sosial yang lebih luas, yakni kewajiban untuk membantu sesama, terutama mereka yang tertindas atau mengalami ketidakadilan sosial.