Lihat ke Halaman Asli

Asal Bunyi, Tak Baca Buku!

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi/admin(Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="ilustrasi/admin(Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo)"][/caption] Dentuman dimulai ketika cerpen "istri simpanan” di buku Lembar Kerja Siswa kelas 2 Sekolah Dasar (SD) di Jakarta. Kemudian sorotan media kembali mencuat dengan menuduh Buku Ada Duka di Wibeng, Tambelo Kembalinya Si Burung Camar, dan Tidak Hilang Sebuah Nama. Tanpa cek dan ricek isi buku. Masyarakat, media asal bunyi menuduh sembarangan. Maka beredarlah desas desus menyudutkan sang penulis buku. Kemudian ketika ada suatu media memberitakan bahwa ketiga buku tersebut sudah lama beredar. Dan baru kali ini ditindak. Tingkat baca isi tersebut untuk pelajar SMA, dan distribusikan ke SD. Ya jelas salah. Dan ternyata lempar sembunyi tangan pemerintah lah mengakibatkan desas desus. Diam karena salah atau pura-pura tidak mendengar mengkambing hitamkan penulis buku. Kemudian masyarakatpun juga mulai asal bunyi. Beragam profesi ada beberapa yang menulis desas desus buku tanpa membaca isi buku. Seharusnya lakukan cek dan ricek terlebih dahulu. Kalau tidak akan bermasalah. Nah akhirnya Agus M. Irkham seorang Pegiat Literasi. Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat menulis di suara merdeka  9 Juni 2012 "Ada Duka di Wibeng (ADdW). Kebetulan saya sudah membaca secara lengkap buku tersebut. Termasuk membaca ulang bab “Asal Mau Sama Mau?”—halaman 104, bukan halaman 93 seperti yang pernah diberitakan—yang disebut bermuatan pornografi itu. Tulisan ini tidak saya maksudkan sebagai pledoi atau sebaliknya upaya untuk memperkuat dakwaan bahwa buku karya Jazimah Al Muhyi ini memang tergolong buku lucah. Pembacaan jernih atas sengkarut persoalan buku ADdW ini akan saya dekati dengan dua analisis. Pertama, analisis isi (content analysis), dan yang kedua, analisis bingkai (frame analysis). Pertama, soal isi. Buku setebal 180 halaman—bukan 168 halaman seperti yang sering dikutip media—berisi tentang kehidupan remaja SMA. Wibeng adalah singkatan dari Widya Bangsa, nama SMA. ADdW adalah buku ketiga setelah buku “Kelelawar Wibeng”, dan “Gendut Oke, Hitam...”. Ketiganya dilabeli dalam satu nama: Serial Akta. Akta adalah nama tokoh utama di buku serial novelet tersebut. Karena tentang remaja SMA, tentu saja persoalan yang diangkat sangat bertalian dengan kehidupan mereka. Mulai dari soal tawuran pelajar, geng, virus merah jambu (cinta) yang didasarkan pada keterpesonaan fisik, hingga soal pemahaman dan pengetahuan remaja soal seks. Melaui Serial Akta ini, nampak sekali niatan penulisnya untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ulang terhadap konstruksi awal atas tema-tema di atas. Dan proses rekonstruksi itu melalui dialog para tokoh di buku tersebut. Kesadaran yang ditumbuhkan dari dalam si pembaca melalui dialog-dialog tokohnya." Maka jelaslah siapa yang salah. Asal menuduh tanpa cek dan ricek membuat malu. Semoga media dan tiap orang yang menulis meminta maaf dengan penulis yang bersangkutan. Berikut ini press releas dari forum lingkar pena; Beberapa hari terakhir ini berbagai media, baik cetak, on-line, dan televisi, memberitakan penarikan buku-buku yang dilaporkan bermuatan pornografi dan kekerasan dari perpustakaan-perpustakan Sekolah Dasar di beberapa daerah. Judul-judul buku tersebut adalah: Ada Duka di Wibeng (penulis: Jazimah Al-Muhyi), Tidak Hilang Sebuah Nama (penulis: Galang Lufityanto), Tambelo: Kembalinya Si Burung Camar (penulis: Redhite K.), Tambelo: Meniti Hari di Ottawa (penulis: Redhite K.), Syahid Samurai (penulis: Afifah Afra), Festival Syahadah (penulis: Izzatul Jannah), dan Sabuk Kiai (penulis: Dadang A. Dahlan). Terkait dengan buku Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Syahid Samurai, dan Festival Syahadah, ditulis oleh anggota Forum Lingkar Pena (FLP). FLP adalah organisasi pengaderan penulis yang sejak awal pembentukannya pada tahun 1997 memiliki visi mencerahkan masyarakat melalui tulisan. Dalam menulis berbagai karya, para anggota FLP memiliki sikap untuk tidak menulis karya yang membawa pada kemudharatan. Para anggota FLP juga ada di garda depan dalam menolak segala bentuk karya yang bermuatan pornografi. Badan Pengurus Pusat (BPP) FLP melihat telah terjadi distorsi dan penyesatan dalam kasus penarikan buku ini. Distorsi pertama, bahwa persoalan bukan pada isi buku, tetapi pada distribusi buku-buku tersebut sehingga masuk ke perpustakaan Sekolah Dasar dalam hal ini melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) 2010 sebagaimana pemberitaan yang beredar luas. Dalam hal peredaran dan distribusi buku dalam proyek pemerintah, persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya adalah LOLOS PENILAIAN Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Buku-buku tersebut sudah lolos penilaian dengan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan layak untuk dijadikan referensi dan tercetak di belakang sampul buku. Sehingga dari sisi kelayakan-bacanya telah dijamin oleh lembaga yang berwenang. Jika kemudian buku-buku yang layak baca dan dijamin oleh lembaga yang berwenang dan memiliki kredibilitas seperti Pusat Kurikulum dan Perbukuan, kemudian secara konten dituduh tidak layak bahkan porno. Ada persoalan yang perlu diteliti dengan lebih mendalam terkait distribusi buku-buku tersebut sehingga tiba di Sekolah Dasar. Distorsi kedua adalah pemberitaan media yang tendensius. Hampir semua berita di media, baik cetak, on-line, maupun televisi, dilakukan tanpa ada check dan balance. Jurnalis media tidak meminta pendapat pakar dan menelan mentah-mentah pernyataan dari beberapa sumber berita, yang kami sinyalir tidak (belum) membaca buku-buku tersebut secara menyeluruh. Beberapa istilah dalam buku (yang sesuai konteks cerita) disimpulkan sebagai istilah porno, kemudian langsung menuduh buku-buku tersebut adalah buku porno. Terlihat juga kurang pahamnya media terhadap defenisi pornografi. Distorsi ini menurut kami sangat mengkhawatirkan, karena bila tidak diluruskan maka akan terjadi fitnah, pembunuhan karakter (terhadap penulis), juga pembalikkan akal sehat. Di satu sisi kita melihat semakin banyak karya, baik buku juga tontonan yang jelas-jelas bermuatan pornografi dan vulgar, tetapi seakan tak tersentuh. Buku-buku FLP yang mengajak masyarakat, terutama remaja, kepada kebaikan, malah dituduh sebagai buku porno. Semoga kasus ini menjadi titik untuk membereskan mekanisme dan distribusi buku-buku proyek DAK. Sekaligus, dan sekali lagi, penolakan terhadap karya bermuatan pornografi, yang selama ini telah sering disuarakan oleh FLP. Semoga siaran pers ini dapat mengklarifikasi banyak hal. Jakarta, 13 Juni 2012. Setiawati Intan Savitri                              Rahmadiyanti Rusdi Ketua Umum BPP FLP 2009-2013         Sekretaris Jenderal BPP FLP 2009-2013 Klarifikasi ini Setiawati Intan Savitri juga dilakukan oleh Wildan Hasan (Penyiar Radio Dakta 107 FM) tadi pagi, 14 Juni 2012. Intan Savitri mengatakan dalam wawancara tadi pagi, bahwa FLP telah dari dulu tidak menyetujui porno dan mengapa media menuduh sembarangan. Dan mereka yang menuduh tidak membaca buku secara penuh, hanya memenggal kalimat isi buku tersebut. Di akhir wawancara, Forum Lingkar Pena Insya Alloh akan melakukan konfernsi pers sebagai hak jawab dan klarifikasi. Akhir kata, lakukan cek dan ricek sebelum anda malu sendiri. Wassalam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline