Lihat ke Halaman Asli

Berpuasa itu Mendewasakan

Diperbarui: 11 Juni 2016   04:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kaum muslim diseluruh dunia tengah bersiap menyambut bulan penuh rahmat dan ampunan yakni Ramadhan,dimana dalam kurun waktu satu bulan ini umat muslim diwajibkan untuk berpuasa, menahan lapar dan dahaga mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Bulan ini terasa spesial bagi umat muslim, sebab didalamnya terdapat perlakuan lebih dari Allah SWT. Misalnya dilipatgandakannya pahala ibadah kita, diampuninya dosa-dosa yang telah dilakukan oleh manusia, serta perlakuan-perlakuan spesial lainnya. Tak heran bila banyak umat muslim berbondong-bondong pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah, tadarus al-Qur’an, i’tikaf, dimana fenomena ini jarang kita temui pada hari-hari biasa, terutama di kota-kota besar. Suasana religius semakin terasa manakala waktu mendekati adzan magrib dimana mereka (orang-orang yang berpuasa) akan berbuka. Anak-anak sampai lansia berbondong-bondong pergi ke mesjid, ibu-ibu dan anak perempuan sibuk menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa, shalawatan dan murotal al-Qur’an dikumandangkan dari speaker-speaker mesjid menjelang buka puasa. Selepas shalat Isya, umat muslim melanjutkan ibadah tarawih berjamaah kemudian dilanjutkan tadarusan. Suasana khas bulan puasa ini menjadi kerinduan tersendiri dalam benak umat muslim, sehingga kita ingin melaksanakannya dari tahun ke tahun.

Pada dasarnya, puasa tidak saja milik umat muslim, melainkan mereka yang beragama Nasrani, Yahudi bahkan agama lainnya pun menjalankan ibadah puasa. Sebagaimana kita ketahui bahwa agama-agam samawi tersebut berasal dari Allah SWT, tetapi dalam perkembangannya terjadilah perubahan yang merupakan campur tangan manusia. Mengapa puasa itu disyariatkan Allah SWT? Menurut Jalaludin rakhmat, setidaknya ada dua alasan mengapa puasa disyariatkan kepada pemeluk agama samawi. Pertama, puasa adalah wahana untuk mendekati kembali kepada pencipta diri kita. Tidak dapat kita pungkiri bahwa pada hari-hari biasa kita sering disibukan oleh urusan duniawi sehingga lupa untuk apa kita diciptakan ke dunia ini. Sementara di bulan puasa inilah kita menemukan kembali momentum untuk mengabdi kepada sang pencipta, Allah SWT. Karena alasan inilah puasa ada dalam semua agama. Kedua, puasa dapat memenuhi kebutuhan spiritual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan paling tinggi dalam kehidupan manusia. Abraham Maslow menggambarkan kebutuhan manusia dalam sebuah piramida kebutuhan, dimana semakin tinggi piramida semakin abstrak kebutuhannya. Pada tingkat paling bawah, manusia hanya memenuhi kebutuhan makan dan minum. Ia hanya memenuhi kebutuhan biologisnya. Bila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi, kebutuhannya akan naik ke level selanjutnya yaitu kebutuhan akan kasih sayang, kenyamanan, ketentraman dan rasa aman. Lebih tinggi lagi ia akan berusaha untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan. Diatas itu terdapat kebutuhan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan dimana ia bekerja atau di lingkungan tempat tinggalnya dan lain-lain. Inilah penyempurna kebutuhan manusia. Kebutuhan yang paling tinggi ialah manakala seseorang berusaha memenuhi kebutuhan spiritual/ruhaniahnya, bukan memenuhi kebutuhan jasmaniahnya. Pemenuhan kebutuhan ruhaniyah mendatangkan ketentraman tersendiri dalam diri seseorang, dimana hanya orang-orang yang sudah terpenuhi kebutuhan ruhaniyahnyalah yang dapat merasakan kedamaian dan kenikmatan tersebut.

Dalam kurun satu bulan ini lah manusia dilatih untuk move up, mengembangkan diri, hijrah dari hanya memenuhi kebutuhan jasmaniah ke level paling tinggi dari kebutuhan hidup manusia yakni kedamaian dan ketentraman. Dibulan Ramadhan, kita diajak untuk beranjak dari tingkat oral, anal ke tingkat tertinggi. Sigmund Freud menjelaskan kesenangan manusia pada periode awal yakni masa anak-anak  terletak pada mulutnya. Kalau ia lapar, ia makan, ia haus, ia segera minum. Saat itu pula kebutuhannya terpenuhi dengan kesenangan pada makan dan minum. Anak-anak menemukan kenikmatannya ketika ia memasukan sesuatu pada mulutnya. Kesenangan demikian ia peroleh saat ibunya menyusuinya. Seiring berkembangnya fisik anak maka kenikmatanya pun berkembang pada periode anal lalu periode genital. Semua kebutuhan tersebut bersifat jasmaniah, tidak ada  pada masa itu kebutuhan akan ruhaniah. Memasuki masa dewasa, kebutuhan manusia bergeser pada kebutuhan yang bersifat abstrak seperti kebutuhan akan ilmu pengetahuan, informasi, pengakuan, dan aktualisasi diri. Akan tetapi, menurut Sigmun Freud banyak orang yang ketika memasuki masa dewasa, kepribadiannya terhambat hanya pada kebutuhan jasmaniah saja. Hambatan tersebut disebut fiksasi. Sebagaimana yang telah saya jelaskan diatas bahwa di bulan puasa ini kita diajak untuk mi’raj dari periode anal-oral-genital ke tingkat ruhaniah. Hal ini dapat kita rasakan saat siang hari, kita berlatih untuk meninggalkan masa kanak-kanak (masa oral). Periode oral tersebut kita tahan melalui tidak makan dan minum sampai waktu yang dibolehkan yaitu buka puasa. Selain itu, kita juga diwajibkan untuk menahan nafsu seksual melalui menjaga pandangan dan tidak berhubungan badan bagi yang sudah bersuami istri. Ini lah saatnya untuk belajar menjadi dewasa. Di bulan ini, kita dilatih untuk menyeimbangkan kebutuhan jasmaniah dengan kebutuhan ruhaniah, karena manusia itu terdiri dari ruh dan tubuh. Namun, dalam kehidupan sehari-hari seringkali diri kita terikat kuat pada tubuh sehingga minim sekali memenuhi kebutuhan ruh kita.

Inilah bulan tarbiyah, a training month, madrasah ruhaniyah bagi umat muslim. Bagi yang kepribadiannya tidak mengalami fiksasi,seseorang yang sudah sampai pada tingkat tertinggi, seseorang yang keterikatan kepada ruhnya lebih besar dipercaya mampu mengontrol dan mengendalikan tubuhnya sendiri. Bulan puasa bagi kita merupakan bulan yang setidaknya mengantarkan kita untuk dapat mengendalikan hawa nafsu. Sebenarnya setiap hari kita dihadapkan pada pilihan untuk menaati keinginan Allah atau menuruti tuntutan diri kita. Saat lapar, tubuh kita menuntut untuk makan, saat haus yang kita inginkan hanya minum. Allah ingin orang yang berpuasa untuk dapat menahan makan dan minum. Saat lapar dan haus, kita juga mudah sekali tersinggung marah ketika ada yang mengganggu. Orang yang berpuasa juga tidak diperbolehkan melakukan hal yang sama kepada pengganggunya. Orang-orang yang yang menuruti keinginan Allah tidak akan makan dan minum ketika lapar saat puasa, juga senantiasa menahan hawa nafsunya. Mereka selalu menaati aturan Allah SWT. Inilah mungkin yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai kelompok muttaqien, yakni orang-orang bertakwa sebagaimana tujuan diwajibkannya puasa itu sendiri ialah agar umat muslim menjadi bertakwa.

Didalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat fenomena bahwa semakin dewasa seseorang semakin rajin untuk beribadah kepada Allah SWT. Bagi yang sering shalat di mesjid atau ketika shalat jumat misalnya, kita banyak melihat bapak-bapak yang mengisi barisan paling depan ketimbang anak-anak muda nya. Hal ini tentu tidak terjadi pada semua orang yang sudah dewasa sebab ada juga orang yang semakin tua semakin menjadi kemaksiatannya – naudzubillahi min dzalik. Akan tetapi untuk orang yang semakin dewasa/tua makin rajin ibadahnya, kita patut percaya bahwa puasa-puasa yang ia lakukan membuahkan hasil, meningkatkan levelnya ke yang lebih tinggi. Tentu hal ini juga tidak lepas dari hidayah Allah SWT. Semoga Allah memberkati kita dibulan Rajab dan Sya’ban dan mengantarkan kita kepada bulan Ramadhan, membimbing kita untuk menjadi pribadi lebih baik. Puasa yang akan kita jalankan di bulan Ramadhan 1437 Hijriyah ini menjadi puasa terbaik yang mampu menjadikan diiri kita sebagai golongan muttaqien.

Waallahu’alam bishowab




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline