Lihat ke Halaman Asli

Guru-guru Tersekolah

Diperbarui: 28 Februari 2016   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak tahun 2010, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan santer menggaungkan jargon pendidikan karakter sebagai tema besar pendidikan nasional. Di tengah maraknya semangat merealisasikan program itu, guru adalah pihak yang di amanahi sebagai figur sentral suksesi tersebut. Salah satu kebijakan yang paling jelas terasa adalah penyamarataan kualifikasi pendidikan guru baik SD/sederajat, SMP/sederajat maupun SMA/sederajat yaitu minimal berijazah Strata 1 (S1). Sebagai “reward”, pemerintah memberikan tunjangan profesi untuk guru yang besarnya senilai gaji pokok yang biasa di sebut “sertifikasi guru”, bagi yang sudah memenuhi kriteria tentunya.

Kementrian pendidikan kebudayaan juga menyelenggarakan program khusus untuk “memaksa” guru-guru yang belum berklualifikasi pendidikan hingga S1 untuk melanjutkan pendidikannya melalui Program Sarjana kependidikan Guru dalam Jabatan (PSKGJ). Program tersebut di laksanakan di daerah-daerah Tingkatk II dengan memanfaatkan tenaga dosen dari beberapa perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)

Program ini tentunya sangat membantu guru-guru tersebut untuk memperoleh gelar kesarjanaan, akan tetapi kebermanfaatan program tersebut untuk meningkatkan kualiatas guru dengan gelar baru serat kualitas siswa yang di ajar masih perlu kita pertanyaakan.

Probelamatika

Saat  ini, minat masyarakat untuk menjadi guru meningkat, hal tersebut di tandai dengan banyaknya peminat program-program studi pendidikan (keguruan) baik di perguruan tinggi maupun swasta. Dari sudut pandang bisnis, hal ini tentunya sangat menjajikan dan kemudian banyak di manfaatkan oleh perguruan tinggi “abal-abal” untuk terlibat menyediakan program pendidikan keguruan. Akhirnya, banyak sekali orang-orang yang dengan mudah bisa menjadi sarjana yang “hanya” memenuhi standar kualifiaksi pendidikan untuk menjadi guru pun menjamur. Sulit untuk memungkiri bahwa salah satu penyebab membludaknya peminat pendidikan keguruan tersebut adalah karana adanya tununjangan sertifikasi guru yang seakan mencerahkan harapan hidup para calon guru.

Tanapa kita sadari, dunia pendidikan kita memasuki masa paling kelam dalam perjalanannya, dimana pendidikan yang harusnya menjadi profesi mulia kini tak lagi merupakan pekerjaan yang tulus di kerjakan karena kesukarelaan hati dan penuh pengabdian melainkan karena ada sisi lain yang justru merupakan musuh besar bagi keluhuran nilai-nilai kemanusian, yaitu sesuatu yang bersifat material.

Boleh jadi maksud pemerintah memberikan  tunjungan tersebut adalah benar-benar merupakan bentuk keseriusan penghargaan terhadap guru sebagai sosok sentral pembangunan sumberdaya manusia, akan tetapi kesalahan tafsiran bagi mereka-mereka yang bersifat pragmatis juga mungkin terjadi. Sertifikasi secara tidak langsung dengan nominalnya kini sangat membantu guru-guru yang menerimanya, akan tetapi se-efektif apakah penggunaannya untuk menunjang kinerja? Untuk membeli buku-buku untuk bahan ajar misalnya. Belakangan mencuat wacana penghapusan sertifikasi oleh Presisen Joko Widodo, jika wacana tersebut benar adanya, apakah guru-guru yang biasa menerima tunjangan akan tetap bisa bekerja optimal?

Memaknai  pendidikan

Orang-orang yang mengikuti pendidikan keguruan dan dinyatakan lulus sebagai sarjana tentunya memiliki hak untuk menjadi guru. Bagi mereka yang tidak memahami esensi pendidikan pastinya akan beranggapan bahwa kesarnaan adalah satu-satunya sakala ukur telah berpendidikannya seseorang. Akan tetapi, sesungguhnya kesejatian makna pendidikan bukanlah sesuatu yang tersurat dalam teks-teks buku ataupun di dapat dari pihak lain.

Mendidik  merupakan kesatuan tanggung jawab yang datang dari hati, melekatkan kesukarelaan dalam setiap pemberian, menggandengkan kecerian dari setiap pengabdian, dan menginternalisasi seluruh perintah kebaikan kedalam tindakan keseharian atau keteladanan. Mereka yang terdidik secara formal namun masih memisahkan “profesi guru” dari keteladanan, memisahkan pembagian ilmu dengan keikhlasan, memisahkan sekolah dengan keseharian  dan mengajar untuk keserakahan cukuplah di katakan sebagai “guru yang tersekolah”. Karena mereka yang terdidik adalah orang-orang yang bersekolah untuk pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline