PENDAHULUAN
Salah satu masalah politik global yang menonjol saat ini adalah konflik Laut China Selatan. Wilayah ini, kaya akan sumber daya alam dan penting secara geopolitik oleh banyak negara. Beberapa negara di sekitarnya seperti China, Indonesia, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan memiliki klaim teritorial yang tumpang tindih. Klaim yang meningkat dan tindakan militer semakin agresif dari beberapa pihak yang terlibat telah meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut.
Laut China Selatan merupakan sebuah kawasan perairan dan gugusan kepulauan yang terdiri dari dua Pulau besar yaitu Spratly dan Paracels. Luas dari Kawasan ini membentang melewati beberapa Negara, mulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan (Nainggolan, 2013). Meskipun Indonesia bukan negara yang aktif untuk saling klaim, artinya hanya menjaga kedaulatan wilayahnya dari klaim dari negara lain (Dienda & Muhammad, 2022).
Indonesia kemudian berhak atas pengelolahan dan pemanfaatan sumber daya alam di ZEE sekaligus mendapatkan keuntungan strategis ketika ZEE di wilayah perairan Natuna Utara dikelola sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional (Sulistyani et al., 2021).
Beberapa sikap diplomatis sudah dilakukan Indonesia untuk menghindari tensi konflik yang kian memanas, salah satunya memberikan penamaan baru Laut Natuna Utara diganti menjadi Laut China Selatan pada tahun 2017. Namun kuatnya pengaruh China membuat Indonesia harus mengkaji ulang mengenai aspek diplomasi yang selama ini dianggap tidak dapat berbuat banyak untuk menekan China mencabut klaim kedaulatan atas wilayah Laut China Selatan dan mematuhi hukum laut Internasional UNCLOS 1982 (Andika & Aisyah, 2017).
Konflik Laut China Selatan menjadi isu hangat di media massa dan sosial belakangan ini. Menurut Henrik Thune bahwa pengaruh media masa dalam proses decision making, dewasa ini tentunya dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan sebagai instrumen guna mengkomunikasikan tatanan struktur politik yang memuat pesan dan simbol terhadap kekuatan hegemoni (Setiawan, 2019). Hal tersebut menggambarkan sebuah kerangka pandangan terhadap media massa sebagai perpanjangan tangan negara dalam kebijakan politik luar negeri (Coban, 2016).
Media massa dan sosial menjadi semakin penting di tengah-tengah ketegangan ini dalam membentuk opini publik dan mengarahkan narasi konflik. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kepentingan maritim yang besar, sangat memperhatikan pengaruh propaganda media massa dan sosial terhadap kedaulatan negara. Media massa seperti surat kabar dan televisi memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik melalui pemberitaan dan analisisnya tentang konflik Laut China Selatan. Di sisi lain, media sosial seperti twitter memungkinkan penyebaran informasi dan propaganda dengan cepat dan luas sehingga mempengaruhi persepsi masyarakat konflik.
Prolog di atas merupakan dilema yang penulis temukan saat mengulik konflik Laut China Selatan. Konflik ini menjadi perbincangan dan bahkan menjadi topik Debat Calon Presiden 2024 yang digelar di Istora Senayan pada Minggu, 7 Januari 2024. Pembahasan konflik Laut China Selatan masuk kedalam topik Pertahanan, Keamanan, Politik Luar Negeri, Globalisasi, Hubungan Internasional, dan Geopolitik.
Tujuan dari tulisan ini untuk melihat dampak dari propaganda media massa dan sosial mengenai konflik Laut China Selatan terhadap Aparatur Negara baik ASN, TNI maupun Polri sebagai bentuk ancaman kedaulatan Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi melalui survei literasi dan penyebaran kuesioner. Sehingga dari tulisan ini diharapkan dapat memberi sudut pandang informasi bagaimana propaganda media mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia, mengancam kedaulatan Indonesia dan dapat digunakan untuk mengembangkan solusi yang efektif untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Selain itu, diharapkan melalui tulisan ini mampu mengedukasi masyarakat khususnya Aparatur Negara dan menjadikan masyarakat lebih peduli terhadap kedaulatan negara Indonesia.
PROPAGANDA MEDIA
Persebaran Narasi Propaganda Twitter