Lihat ke Halaman Asli

Saya (Tidak Mau) Miskin

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12983003371475714566

Dahulu, ada seorang penyemir sepatu di salah satu bandara. Dulu badannya kecil, sewajarnya anak Indonesia usia 7 tahun, dan ber-raut muka sangar. Dulu dia sangat agresif dalam menawarkan jasa-nya, dan selalu ingat langganan-nya yang biasanya pekerja MIGAS yang menggunakan safety shoes. Begitu lincah dan supel-nya dia,sehingga dia mampu mengerahkan rekan-rekannya ketika ada serombongan orang yang hampir keseluruhannya menginginkan sepatunya mengkilap. Luar biasa!

Namun tak lama dia menghilang. Selidik punya selidik…kabarnya Sang Penyemir bandara merantau ke Bangka menjadi penambang timah liar disana.

Tentu kita ingat kisah Si Ikal di Laskar Pelangi, dan sedikit banyak terbayang dalam benak kita bagaimana kehidupan tambang timah liar disana…hidup penuh bahaya, terik matahari, miskin, minim harapan, dll. Butuh nyali besar untuk bertaruh nasib disana.

Kini, 6 tahun setelahnya, Sang Penyemir sepatu tidak terlihat kecil lagi. Tinggi badannya hampir 2 kali lipat. Raut mukanya yang murung tak dapat ia sembunyikan. Terlihat kulit terkelupas di muka dan tangannya, meninggalkan semacam pulau-pulau besar berwarna putih tanda sengatan matahari berlebihan yang tanpa kompromi melukai kulitnya. Sang Penyemir terlihat duduk di salah satu mesjid Bandara dengan tatapan kosong, tidak lincah dan antusias seperti dulu. Kami berdua sempat bertatap pandang barang beberapa detik. Entah apa yang dia pikirkan, namun sekejap saya berpikir “Apa yang telah terjadi padanya?”. Sesuatu yang besar telah terjadi.

Perbincangan kecil terjadi, dan sejujurnya saya sangat berhati-hati agar tidak masuk jauh ke dalam hidupnya. Entah waspada…entah su’udzon. Namun ia terasa sangat dingin sekali…tanpa ekspresi dan antusiasme. Tawaran jasa menyemir pun tidak lagi dilakukan dengan antusias, dia sangat pasif dan terasa pesimis. Sepertinya beban berat hidup mendera-nya menjadi pribadi yang benar-benar lain. Pendapat pribadi saya, anak seperti ini rentan dimanfaatkan oleh penjahat.

Ia adalah salah satu produk dari kemiskinan, dan kita selalu bisa ambil bagian dalam mengatasinya.

Banyak cara pandang dalam berperan memerangi kemiskinan. Beberapa orang sahabat semasa kuliah dulu, rela ber-home stay bersama pemulung di salah satu Tempat Pembuangan Sampah sebagai cara untuk menghayati kehidupan yang serba kekurangan. Sahabat yang lain berperan serta dengan membantu korban bencana Lumpur dalam membangun kembali harapan hidupnya. Sahabat yang lain berperan dengan terjun langsung mengajarkan ilmu apapun yang dia punya pada orang-orang yang berkekurangan. Sahabat yang lain berperan dengan memberikan sedekah ditambah do’a. Bentuk apapun, sekecil apapun dapat dilakukan. Semua orang punya caranya sendiri.

Namun jangan sampai terjebak pada pemikiran yang menjauhkan diri dari tindakan nyata.

Maksudnya? Ada sebagian orang yang berpikiran bahwa memberikan sedekah pada pengemis jalanan sama dengan memelihara kemiskinan itu sendiri, namun tanpa diimbangi dengan tindakan lain untuk memerangi kemiskinan tersebut. Seringkali tanpa kita sadari…pengemis, gembel, penyemir sepatu, dll sejatinya adalah produk dari kemiskinan. Yang kita perangi adalah kemiskinan-nya, bukan pengemis/gembel/penyemir sepatu-nya.

Lalu apakah kita harus memberikan sedekah pada pengemis yang terlihat sehat? Apakah kita harus membantu gelandangan yang sepertinya masih kuat bekerja? Jawabannya ada pada hati kita semua.

Semoga Tuhan YME senantiasa membersihkan hati kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline