Lihat ke Halaman Asli

Ketulusan...Masih Adakah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_37953" align="alignleft" width="150" caption="Pak Udin"][/caption]

Pengayuh yang biasa mangkal di dekat kamar kontrakanku itu bernama Pak Udin. Di kota yang aku tinggali memang cukup banyak pengayuh becak, sampai-sampai lalu lintas sering dibuat kacau oleh hilir mudik becak yang tak kenal rambu-rambu lalu lintas. Para pengayuh becak ini adalah potret dari urbanisasi. Contoh nyata dari ketidakberhasilan pemerataan pembangunan, yang seringkali pula disalah artikan sebagai pembangunan bangunan fasilitas kantor, ruko, dsb. Pembangunan semestinya berarti pengembangan sumber daya manusia, pengembangan lapangan kerja, agar warga yang hidup di desa dapat tetap hidup dan lebih baik lagi tanpa harus “saba kota” dan berebutan tinggal di sudut-sudut kota.

Umurnya tak kurang dari 60 tahun. Namun dengan gerak geriknya, sungguh tidak seperti usia senja. Di usianya, orang-orang “kantoran” di kota sudah mulai pensiun. Sebagian merasakan post power syndrome dan penyakit mahal yang lain. Tapi tidak dengan Pak Udin. Di usianya yang sudah layak bersantai di kursi goyang, dia masih mengantarkanku dan istriku ke stasiun dengan semangat. Jika diperlukan, dia bersedia loncat dari sadel becak-nya kemudian mendorong becak agar kecepatannya terjaga. Maklum, kereta api tidak akan menungguku walaupun aku punya 10 tiket sekalipun.

Tiada hari tanpa tersenyum. Begitulah yang aku liat dari wajahnya ketika aku dan istriku melewati tempat mangkalnya. Salam ramah yang polos, sungguh tidak dapat menyembunyikan karakter-nya yang ceria. Pertanyaan-pertanyaan polosnya sungguh menelanjangi sifatnya yang memang sangat polos. Tak satu alphabet pun yang ia mengerti, sampai ia menyodorkan bon obat yang mesti dibeli untuk istrinya untuk menanyakan apa nama obatnya.

Iya...istri Pak Udin baru saja dioperasi karena kangker payudara. Seorang dokter dermawan dengan sukarela mengobati istrinya sampai kangker urung merengut nyawa istri yang tercinta. Sungguh rasa syukur puji bagi si dokter dermawan yang diucap oleh Pak Udin ketika dia mengantarkanku ke pasar. Sambil terengah-engah ia termalu-malu meminta bantuan dariku untuk menebus obat itu. Tidak terlalu mahal, namun sangat mahal baginya.

Duuuhhh....Pak Udin.

Suatu hari Pak Udin memuji-muji presiden SBY karena telah menggratiskan sekolah anak bungsunya yang SMP. Sehingga beban Pak Udin dan istrinya yang seorang buruh tani brambang dapat jauh lebih ringan. Bagi Pak Udin dan istrinya, kebahagiaan anak sangatlah penting. Maka itu sangat penting baginya agar anaknya bersekolah, bukan karena sekolah akan mengubah hidupnya....namun karena anaknya suka bersekolah. Tak secuilpun kata-kata yang pernah terucap Pak Udin yang menganjurkan anaknya berhenti sekolah untuk membantu ayah ibunya. Pak Udin bahagia karena anaknya bahagia bersekolah, itu saja.

Lalu pada kesempatan yang lain Pak Udin kebingungan, karena ketika anak bungsunya menginjak bangku SMA...ternyata ditarik bayaran SPP. Dia bingung karena SMA Negeri yang masuk dalam wilayah jawa barat tidak dipungut SPP, namun SMA Negeri yang termasuk wilayah jawa tengah tetap dipungut SPP. Pak Udin benar-benar bingung mengapa presidennya sama, SBY, tapi kok bisa lain kebijakan?!. Jika pindah ke SMA Negeri di jawa barat pun akan memakan ongkos yang sama mahalnya dengan membayar SPP. Otonomi daerah, anggaran belanja daerah dan lain sebagainya terasa sangat out of space baginya. Sungguh membingungkan...

Mengingat reputasi Pak Udin yang sangat mudah diminta bantuan, aku minta dia datang ke kontrakanku yang baru untuk ikut membenahi rumah kontrakan agar layak dihuni. Maklum sudah 6 bulan tidak ditinggali. Kali ini aku sangat kecewa dengan kinerja Pak Udin. Pekerjaannya sangat terburu-buru. Kaca jendela dibersihkannya dengan asal-asalan, sehingga dia tinggalkan masih kotor. Belum sore menjelang dia sudah meminta pulang, karena akan pulang ke rumah anak istrinya di perbatasan sisi jawa tengah. Dengan hati yang sungguh kecewa, aku berikan ia upah untuk sehari. Sangat tidak sapadan yang aku berikan...itulah yang ada di kepalaku. Sesaat aku menyangka bahwa standar “bersih”-ku mungkin terlalu tinggi dengan standar “bersih” Pak Udin yang memang bajunya terlihat selalu kotor. Namun apapun lah...yang jelas aku kecewa, sehingga pekerjaan membersihkan rumah harus aku tunda besok. Walaupun saat itu waktu sangat berharga bagiku.

Datanglah esok hari Pak Udin dengan becaknya. Pagi-pagi dia sudah mangkal di depan rumah kotrakanku. Ember, sikat dan pel langsung dia sambar ketika aku bukakan pintu. Langsunglah ia membersihkan tegel keramik, halaman depan, washtafel, sampai dia meng-ampelas noda kuning pada lubang WC. Semangat seperti inilah mungkin yang dirasakan arek-arek suroboyo ketika melawan sekutu. Sungguh sangat kagum ku dibuatnya karena kegesitannya. Di sore hari kemudian dia berkata bahwa kemarin dia pulang ke rumahnya di jawa tengah karena anak bungsunya yang baru sekolah di SMA sudah ditagih-tagih uang SPP yang sudah ditunggaknya selama 2 bulan. Karena tak mau mengecewakan anaknya, kemarin ia melupakan rasa malu karena kerja setengah-setengah. Namun ternyata uang honor yang kuberikan kemarin belum cukup untuk membayar SPP 2 bulan. Selain itu, dapur rumah Pak Udin sudah harus segera mengepul, karena sudah lama ia tidak membelikan beras bagi keluarga tercintanya. Sehingga upah yang kemarin keberikan, ia belikan beras.

Hati ini tersesak rasanya mendengar cerita itu. Namun karena lama hidup di ibu kota membuatku tidak mudah percaya dengan omongan manis seperti apapun. Sungguh jahatnya ibu kota sehingga diri ini sulit mengenali kebaikan yang tulus. Di kepalaku otomatis mewaspadai kebaikan, karena langka di ibu kota. Kuberikanlah dia uang utk membayar SPP 2 bulan anaknya sebagai upah hari kedua ia bekerja. Namun aku masukkan anaknya sebagai calon penerima beasiswa SPP yang sudah setahun ini aku kelola bersama teman-temanku. Aku minta Pak Udin pulang, kemudian meminta anaknya untuk mengisi formulir permohonan beasiswa. Mudah-mudahan SPP-nya selama setahun dapat ditanggung. Komandoku jelas, datanglah 2 hari lagi untuk mengambil uang SPP anaknya selama setahun...kemudian aku minta foto copy tanda pembayaran dari sekolahnya. Namun hal sesederhana itu tak kunjung Pak Udin pahami, dan dia bilang akan didiskusikan dengan anaknya...karena ia tidak mengerti. Fiuuhhhh....

Dua hari kutunggu, Pak Udin tak datang.

Muncul di benakku pikiran buruk bahwa Pak Udin tidak benar-benar membayarkan SPP anaknya. Muncul juga di benakku bahwa Pak Udin hanya memanfaatkan rasa kasihanku. Maklum, pengemis ibu kota sering kutemui terlihat sangat memelas meminta sedakah namun dia merokok Dji Sam Soe. Berarti selama ini aku ditipu ya?! Ketika kutantang dia untuk meminta copy tanda pembayaran SPP anaknya, dia langsung kabur.

Lima hari tak datang, datanglah Pak Udin pada hari ke-enam. Dia menyampaikan maaf karena tidak datang ketika diminta olehku. Kesibukannya di rumah membuat dia harus pulang lebih lama. Dia pun meminta maaf karena formulir yang kuberikan tak dapat dia isi, karena anaknya tidak dapat menuliskan data dirinya serta persyaratan lain yang diminta oleh ku. Kesibukannya dalam acara tahlilan anak bungsunya membuat Pak Udin tak dapat memenuhi janjinya.

Iya benar...anak bungsu Pak Udin sudah dipanggil pulang oleh Tuhan YME.

Innalillahi wa inna illahi roji’un. Semua yang berasal dari-Nya akan kembali pada-Nya. Seketika itu aku tersontak, karena anak bungsu Pak Udin...yang SPP-nya sempat nunggak 2 bulan...meninggal karena kecelakaan ketika melompat dari papan kolam renang. Memang anak bungsu Pak Udin adalah seorang atlet peloncat indah. Sungguh olah raga yang langka di kota ini, sehingga pasti anak bungsu Pak Udin ini adalah seorang yang pemberani, sekaligus kuat dan lentur. Namun Tuhan memanggilnya ketika ia didaulat sebagai pelatih lompat indah, dan pada lompatan kedua, kepalanya terkantuk bibir kolam setelah loncat dari papan setinggi 6 meter. Seketika itu pula aku menangis...terharu pilu akan nasib seorang Pak Udin...pengayuh becak yang selalu tersenyum, yang menempatkan kebahagiaan anaknya diatas dirinya. Diri ini memang belum pernah merasakan bagaimana kehilangan orang yang dicintai, namun air mata ini tak kuasa kubendung...Subhanallah.

Ku simpuhkan diri ini dihadapan Tuhan ketika menunaikan yang lima waktu...mendo’a-kan Pak Udin, almarhum anak bungsunya dan keluarganya. Dan memohon ampun bagi diriku sendiri...yang kian hari kian buta. Buta melihat kebaikan manusia...buta melihat ketulusan manusia...buta akan ucapan jujur seorang pengayuh becak, hanya karena khawatir rasa iba-ku akan dimanfaatkan. Sungguhpun prasangka buruk sudah merusak syaraf penglihatan dalam melihat kebaikan.

Yaa Allah...mampukan diri ini untuk merasakan kebaikan, juga memberikan kebaikan. Ingatkanlah diri ini agar tidak mabuk dengan harta dan tahta yang kini kusandang, sehingga membuatku buta akan kebaikan, aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline